resensi

REVIEW 12 Menit

 

 

“Jangan pernah berhenti membuat keajaiban.” (hlm. 18)

“Berapa pun waktu yang diberikan, tak seharusnya dihabiskan dengan ketakutan. Karena ketakutan tak akan pernah menyambung hidupmu. Yang akan menyambung hidupmu, hanya keberanian.” (hlm. 104)

Bontang. Konon nama Bontang bukan dari rumpun bahasa Kalimantan. Asal nama kota yang memiliki beragam budaya dan menyebut dirinya Indonesia Kecil itu adalah Bond yang berarti ikatan dan Tang dari kata ’pendatang’. Ikatan para pendatang. Kota yang terletak di pesisir timur Kalimantan Timur ini memang dibangun oleh para pendatang dan salah satu kota paling multibudaya di Indonesia.

Tak salah memang jika Bontang dinamakan Indonesia kecil. Miniaturnya Indonesia. Berbagai suku berdiam sejak lama di sini. Orang-orang Bontang Kuala, tinggal dipesisir pantai. Mereka ini keturunan orang-orang Kutai; akulturasi keturunanasli dengan pedagang Cina dan Indiayang sudah berkelana sejak awal abad Masehi.

Penduduk Dayak, umumnya bermukimdi pedalaman. Namun, terutama sejak dicanangkan program transmigrasi, beberapa suku terdesak menjauhi pedalaman. Mereka terus berpindah menyisiri tepi sungai, maju terus sampai mendekati muara sungai. Akhirnya, beberapa suku mendiami pesisir pantai bersama orang-orang Bugis, hingga saat ini.

Orang-orang Bugis dan Banjar juga banyak di sini. Populasinya cukup tinggi, nyaris mendominasi Bontang. Mereka telah tinggal turun-temurun di pesisir pantai Kalimantan Timur. Tak ada yang tahu persis sudah berapa generasi keturunan para pelaut ulung ini menghuni Bontang.

Orang-orang Jawa umumnya datang karena transmigrasi di pertengahan decade 1950. namun, di kisaran 1970-1980, ketika industri sumber daya alam semakin meramaikan Bontang, dieksporlah insinyur dan sarjana-sarjana lulusan beberapa universitas ternama di Pulau Jawa. Dua segmen masyarakat ini, lalu sama-sama melebarkan kependudukan mereka di Bontang.

Bontang memiliki beberapa marching band. Perusahaan-perusahaan besar di kota industri itu bersedia menyisihkan sebagian penghasilan mereka demi menyumbangkan kegiatan yang bermanfaat bagi pemuda setempat.

Anak-anak dari kota kecil juga bisa melakukan sesuatu yang besar. (hlm. 62)

Marching Band Bontang Pupuk Kaltim. Awalnya marhing bandini diperuntukkan hanya untuk pegawai dan anak-anak para pegawai PT PupukKaltim. Namun, marching band ini sekarang milik masyarakat Bontang. Siapa pun bebas menjadi anggotanya, asalkan memang punya, paling tidak sedikit saja, bakat bermusik dan kemauan.

Latihan marching band ini bukan main-main. Pemain trompet misalnya. Tugas meniup terompet bukan pekerjaan enteng. Kalau dilakukan seharian, perih rasanya bibir. Belum lagi rahang; kaku dan nyeri yang baru terasa keesokan paginya, saat kita kesulitan membuka mulut untuk menyuap sarapan. Sayangnya, rahang kaku ini tidak berhenti sampai di sarapan. Kadang-kadang, sakitnya baru sedikit menghilang di sarapan ketiga pasca latihan.

Masalahnya, dalam seminggu, marching band ini latihan tiga kali. Jadi, belum sampai hilang nyerinya, sudah keburu latihan lagi. Sehingga rasanya cukup layak mengatakan bahwa untuk masuk Marching Band Bontang Pupuk Kaltim, yang dibutuhkan bukan hanya sedikit bakat, tetapi yang terpenting adalah ketahanan, ketabahan, dan keuletan. Ulet, ngotot, ngeyel, apapun namanya. Karena kalau sudah berlatih meniup trompet 10.000 jam lamanya, kita boleh berharap ‘bakat’ itu akan menajam dengan sendirinya.

“Dua belas menit ini yang akan menentukan apakah kita akan juara. Dua belas menit ini yang menentukan apa yang akan kita kenang seumur hidup.” (hlm.83)

Adalah Elaine, Tara, Lahang, Rene yang memiliki problem masing-masing. Dibalik masalah yang mendera mereka, ada hikmah di setiap kejadian. Paling ngilu adalah kisah Tara. Masa lalunya menghantui tanpa henti. Beruntungnya dia memiliki oma dan opa yang menyayanginya. Bab16: SAYA.AKAN.MENANG bikin mata berkaca-kaca…

“Ayahmu bukan pergi karena kamu. Tidak ada satu pun yang menyalahkankamu. Apalagi menghukum kamu. Kalau kamu pikir ibumu bersenang-senang di Inggris sana, ya, kamu benar. Ibumu itu sedang membuktikan padamu bahwa bahkan setelah merasa ingin mati, dia masih bisa bangkit. Dan, berbuat sesuatu dengan hidupnya. Bukan hanya menyesali nasib dan menganggap dirinya dihukum atau ditelantarkan.” (hlm.91)

Beda lagi dengan kisah Rene. Sejak masih SMA di Jakarta, Rene aktif dalam kegiatan marching band di sekolahnya. Dia berpindah dari battery, ke front ensemble, ke brass. Dia pernah juga menjadi field commander, walau tak sempat lama karena ternyata dia lebih senang berada di barisan battery. Saat PKT meminangnya, Rene tak langsung setuju. Saat itu, ayahnya baru saja meninggal karena sakit kanker hati. Ibunya, setelah mendampingi beliau selama tiga puluh tahun, tentu saja terpukul. Rene pun khawatir meninggalkan ibunya sendiri. Namun, PKT bertekad keras meminta Rene pindah.

“Saya memang orang baru di marching band ini. tapi, anda tahu sendiri, saya bukan orang baru di marching band. Dan, ini bukan kali pertama saya membawa sebuah tim jadi juara. Saya butuh anda percaya pada saya. Kalau anda saja nggak percaya, bagaimana orang lain. Saya akan membuat marching band ini jadi juara umum di GPMB tahun ini.”

Tokoh Rene pernah saya temukan dalam kehidupan nyata. Adik saya kebetulan atlet softball dari SMA, tim softballnya memiliki pelatih yang sangat berdedikasi. Rela melakukan apapun demi melatih mereka. Ulet, disiplin, dan tak pernah putus asa. Melatih mereka tanpa imbalan apapun karena bukti cinta dengan softball. Begitu juga dengan Rene dengan duniamarching band yang digelutinya ini.

Dari awal baca novel ini, kisah dibalik Marching Band Bontang Pupuk Kaltim langsung mengingatkan saya akan teman-teman kuliah yang bergabung di SPDC – marching band UNPAD. Kebetulan ada beberapa teman sejurusan yang aktif ikut; Eko, Farah, Vika, Resti, Lisma, Resti dan Santana. Saya tahu banget kalo mereka latihan keras dan tanpa kenal cuaca meski terik panas atau hujan menghadang tetap latihan, bahkan pulang ke kosan hingga larut malam. Demi bertarung di GPMB seperti Marching Band Bontang Pupuk Kaltim yang diceritakan dalam novel ini. Saya ubek-ubek facebook mereka susah menemukan fotonya, ini dokumentasi mereka yang saya culik dari facebbok Andreas Eko Prasetyo:

Banyak kalimat favorit yang bertebaran dalam novel ini:

  1. Semua proses berduka seperti menangis, meraung dan menangis lagi, itu adalah bagian dari upaya menyempurnakan sabar. (hlm. 103)
  2. Untuk melawan arus, kalian bukan hanya butuh tubuh yang kuat. Kalian juga butuh mental yang kuat. (hlm. 134)
  3. Kalau telingamu tak bisa dipakai, pakai matamu! Dan pakai hatimu! (hlm. 142)
  4. Tubuh kita lebih pintar dari akal kita. Itu memang anugerah Tuhan bagi semua mahluk hidupnya agar bisa bertahan hidup. (hlm. 43)
  5. Jika dirimu sedang sedih, lihatlah ke bawah. Ada orang yang jauh lebih sedih darimu. Sehingga kamu bisa belajar bersyukur. (hlm. 187)
  6. Kesalahan yang paling fatal adalah kalian sudah kalah sebelum bertanding. Berpikirlah kalah, maka kalian akan kalah. Kalau ingin menang, berpikirlah sebagai pemenang. (hlm. 307)

Ini buku ketiga yang saya baca ber-setting Kalimantan. Pertama adalah novel Aku, Kau, dan Sepucuk Angpau Merah-nyaTere Liye yang ber-setting Pontianak. Kedua ada Hawa yang ditulis Riani Kasih, memilih Sejiram sebagai setting. Selain mengupas dunia marching band secara detail, novel ini juga menyisipkan budaya di Kalimantan, terutama Bontang. Jadi penasaran ama versi filmnya! 😉

Apa pun yang kita lakukan dengan hidup kita pada akhirnya adalah untuk menuju satu. Kebahagiaan. Lahir batin. Dunia akhirat. (hlm. 165)

Keterangan Buku:

Judul                            : 12 Menit

Penulis                          : Oka Aurora

Penggagas cerita           : Regina Septapi

Penyunting                    : @shinta_read dan @me_dorry

Penyelaras aksara         : Fakhri Fauzi, @kaguralian

Penata aksara               : elcreative

Perancang sampul         : A.A

Fotografer                    : Uchin Mahazaki dan Julianto Soeroso

Penerbit                        : Noura Books

Terbit                           : Mei 2013 (Cetakan 1)

Tebal                            : xiv + 348 hlm.

ISBN                           : 978-602-7816-33-6

Resensi ini diikutkan dalam lomba menulis resensi novel 12 Menit : Dreaming is Believing

2013 Indonesian Romance Reading Challenge

https://luckty.wordpress.com/2013/01/04/2013-indonesian-romance-reading-challenge/#comment-959

http://lustandcoffee.wordpress.com/2013-indonesian-romance-reading-challenge/

New Authors Reading Challenge 2013

http://renslittlecorner.blogspot.com/2013/01/new-authors-reading-challenge-2013.html

https://luckty.wordpress.com/2013/02/12/new-authors/

50 thoughts on “REVIEW 12 Menit”

  1. kayaknya keren nih novel, saya suka semua quotationnya yg kamu cantumkan diatas.
    hmm jadi penasaran apa di Bontang beneran ada marching bandnya ya? wkt SMP saya sempat ikut eskul marching band, dan rasanya menakjubkan pada saat kita tampil di depan umum, feeling so proud gitu deh. Rasa letih pada saat latihan rutin akan selalu terbayar dengan rasa bangga dan hebat ketika tampil utk pertunjukan.
    semoga kamu menang yah 🙂

    1. “Jika dirimu sedang sedih, lihatlah ke bawah. Ada orang yang jauh lebih sedih darimu. Sehingga kamu bisa belajar bersyukur. (hlm. 187)”

      kalimat ini memang #JLEBB

  2. wahh,lagi-lagi reviewnya mbak luckty ini bikin penasaran buat baca buku yang memang bikin penasaran duh, jadi penasaran kuadrat ^^” Pas lagi ke Gramedia dan lihat ada biru-biru dipojokkan dan begitu dilihat dari deket ehh, ternyata covernya kece badai nhi 12 menit 🙂 terus lihat sinopsis di belakang buku jadi malah tambah penasaran,dan begitu lihat review ini rasanyaa jadi mau baca dan mau tau isinya >, *2

  3. jadi ini semacam memoar?
    saya selalu suka novel semacam ini, novel dengan setting budaya lokal yang khas… novel dengan setting Kalimantan belum pernah baca. reviewnya menarik, detil. bisa jadi referensi kalau nemu novel ini. terima kasih 🙂

  4. Review yang bagus. Dalam review dan judul buku ini, tersirat makna bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. al ini terbukti dari kutipan-kutipan Luckty yang menyatakan bahwa tim Marching Band Bontang Pupuk Kaltim selalu memanfaatkan waktu latihannya dengan baik. Karena memang nyatanya semakin kemampuan diasah, semakin baik pula hasilnya nanti.

    Judul buku ini,”12 Menit”, juga menjukkan bahwa segala sesuatu bisa terjadi, bahkan dalam waktu yang ‘hanya’ 12 menit. Maka, kita harus memnfaatkan waktu dalam hidup kita sebaik-baiknya.

  5. Saya melahap habis review kamu, Luckty…
    Dan saya puass…

    Sambil mengingat thriller dari versi film yang banyak di iklankan di televisi, sambil membaca tuntas review ini…

    Good…

  6. Wah mbak Lucky kuliah di Unpad juga? Samaaa doong! \(^.^)/ *loh hehhehee
    Hmm saya ingin nanya, apa dalam novel ini memasukkan unsur romantismenya mbak? Soalnya saya kurang tertarik membaca novel yang tidak dibumbui dengan romantisme percintaan hahaha, kecuali novel horor hehe.

  7. “Berapa pun waktu yang diberikan, tak seharusnya dihabiskan dengan ketakutan. Karena ketakutan tak akan pernah menyambung hidupmu. Yang akan menyambung hidupmu, hanya keberanian.” (hlm. 104) > suka !

    Novel ini mengajak pembacanya untuk mewujudkan mimpi. Ini film yang Marching Band ? Kayanya pernah lihat di kick andy deh.

  8. novelnya bagus. filmnya juga nggak kalah keren. banyak pelajaran berharganya. bahwa setiap perjuangan nggak akan berakhir sia sia jika kita bersungguh sungguh. 🙂

  9. “Ayahmu bukan pergi karena kamu. Tidak ada satu pun yang menyalahkankamu. Apalagi menghukum kamu. Kalau kamu pikir ibumu bersenang-senang di Inggris sana, ya, kamu benar. Ibumu itu sedang membuktikan padamu bahwa bahkan setelah merasa ingin mati, dia masih bisa bangkit. Dan, berbuat sesuatu dengan hidupnya. Bukan hanya menyesali nasib dan menganggap dirinya dihukum atau ditelantarkan.” (hlm.91)

    ayah yang bijak nih :/

  10. Nomer 6 saya banget…
    Tapi, selama ini saya selalu berpikir menang, tapi nyatanya kalah…
    Mungkin belum rezeki nya..

  11. Novelnya sekaligus mengenalkan bagian dari negara Indonesia yang belum pernah kaki ini menginjaknya… 🙂
    Quote nya keren2, terutama nomer 2
    Untuk melawan arus, kalian bukan hanya butuh tubuh yang kuat. Kalian juga butuh mental yang kuat. (hlm. 134)

  12. aaaa lagi baca buku ini.. btw bab per bab-nya gak terlalu banyak ya halamannya. jadi berasa baca cepat. oh ya saya pun tahan napas tiap kali Elaine berhadapan dengan ayahnya yang dingin, tegas, perfeksionis, & untouchable ini

Leave a reply to SweetSugar (@ayistia11) Cancel reply