Bukankah jodoh di tangan Tuhan? Kenapa kita sebagai manusia membuat aturan sendiri? (hlm. 112)
ANAK AGUNG AYU INDIRA. Setelah menamatkan kuliah di Fakultas Ekonomi di Bali, dia memutuskan untuk mengambil kuliah di bidang desain busana. Dia mencintai fashion. Awalnya, orangtuanya keberatana akan niatnya untuk melanjutkan sekolah yang tidak ada hubungannya dengan predikat sarjana ekonomi yang telah diraihnya. Melihat keinginannya yang kuat dan dukungan dari Niang Ayu, neneknya, akhirnya orangtua Indira luluh juga. Mereka berpesan agar dia harus bersungguh-sungguh akan pilihannya itu. Kini setelah dua tahun lulus dari sekolah desain, dia bekerja di dunia fashion. Mempraktekkan ilmu yang telah ia dapatkan sambil belajar dengan baik, apa yang harus dia pahami di dunia fashion, untuk sebuah lini desain atas namanya sendiri kelak. Itulah impiannya.
“Kita hidup di Bali yang menerima perbedaan dengan terbuka.” (hlm. 151)
Bekerja sesuai passion dan memiliki pacar yang merupakan atasannya sendiri, hidup Indira nyaris sempurna. Lima tahun hidupnya di Singapura memberikan kenyamanan. Hingga tibalah suatu hari, neneknya meninggal dan dia harus pulang ke Bali. Hidup tak sesederhana yang dia pikirkan. Pulang ke Bali berarti harus menghadapi segala hambatan yang akan menderanya, termasuk masalah budaya yang masih mengakar kuat dalam keluarga besarnya di Bali.
“Orangtua tidak akan menganjurkan jalan yang salah untuk anak-anaknya. Kami hanya berusaha menuntun kalian untuk melangkah demi masa depan yang baik.” (hlm. 198)
Selain budaya, masalah yang akan dihadapi Indira merupakan representasi para perempuan yang masih sendiri dan harus menghadapi rentetan pertanyaan di kampungnya tentang KAPAN NIKAH. Indira sendiri kerap gusar dibuatnya, apalagi adiknya sebentar lagi akan dipinang oleh pacarnya. Kegusaran Indiran tentang rentetang pertanyaan kapan nikah sangat terlihat di halaman 27, 36, 55 dan 91. Memang, tidak semua orang kebal dengan pertanyaan kapan nikah. Kalau saya sih, saking kebalnya sampe mereka capek sendiri yang nanya. Karena kalau mau bahas kapan nikah, selalu saya yang menang kalau beragumen, gyahahaha… x))
“Sebaiknya, kamu cerita apa yang terjadi sekarang. Jika kamu tidak mau cerita, aku akan segera kembali ke Singapura saat ini juga. Aku tidak mau membuang-buang waktuku untuk hal yang tidak penting di sini.” (hlm. 213)
“Aku sungguh-sungguh mencintai kamu, tapi aku tidak memiliki daya untuk menolak perintah orangtuaku.” (hlm. 215)
Di Lampung, juga ada daerah khusus yang mayoritas warganya bersuku Bali, daerah Seputih Raman. Jika kita ke sana, berasa ke Bali. Di setiap rumah sangat berciri khas Bali. Bisa dikatakan Seputih Raman ini merupakan Bali-nya Lampung.
Kebetulan sebelum membaca buku ini, bulan lalu saya berkesempatan ke Bali. Meski acaranya mendadak dan hanya beberapa hari di sana, Bali memberikan kesan yang cukup mendalam. Salah satu pesan yang bisa kita petik dari masyarakat Bali adalah sangat memegang teguh budaya tanpa tergerus modernisasi. Berikut beberapa selipan budaya Bali yang diselipkan dalam buku yang sama persis dengan keterangan Beli Bali yang menemani selama perjalanan di Bali;
- Di halaman 22 tentang proses upacara ngaben di Bali yang memakan waktu cukup lama.
- Di halaman 61 tentang garis patrilinial yang dianut masyarakat Bali mengharuskan agar pihak lelaki yang meneruskan garis keturunan keluarga, termasuk mengurus merajan.
- Di halaman 62 dan 154 tentang pembahasan kasta dalam budaya Bali.
- Di halaman 80 dan 158 dimana seorang perempuan belum dikatakan sempurna jika belum melahirkan anak laki-laki.
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
- Karena rasa nyaman tak harus saling menjauh, kan? (hlm. 77)
- Bukankah semua sama di mata Tuhan? (hlm. 79)
- Hidup tidak melulu soal cinta. Ada banyak persoalan yang harus kita hadapi di depan nanti. (hlm. 81)
- Menolak perjodohan adalah sebuah masalah kecil jika dibandingkan harus menolak hati seseorang yang kamu anggap sebagai saudara. (hlm. 88)
- Semua pasti ada jalan. (hlm. 100)
- Hidup adalah pilihan. Kamu berhak memilik jalan hidupmu sendiri. Tapi, kita hidup di dunia yang penuh dengan tanggung jawab. Kita tidak bisa lari dari tanggung jawab. (hlm. 113)
Banyak selipan sindiran halus dalam buku ini:
- Mengikuti amarah akan mendatangkan kesal. (hlm. 1)
- Kehidupan percintaan terasa bagai madu walau pada kenyataan sebenarnya adalah sebuah empedu. (hlm. 2)
- Ngapain kerja jauh-jauh di sana? Bisa-bisa nanti nikah sama orang sana. (hlm. 53)
- Kalian berdua sama. Usia sudah tua begini, masih saja suka aneh-aneh nyarinya. (hlm. 55)
- Namanya juga ibu, kalau nggak cerewet, nanti anaknya nggak bisa lancar ngomong. (hlm. 56)
- Memangnya, kamu mau dijodohin? Zaman sekarang? (hlm. 58)
- Mana enak, nikah sama orang yang nggak kita cintai? (hlm. 59)
- Ada juga pernikahan yang langgeng karena perjodohan. Sebaliknya, banyak pula pernikahan yang gagal karena cinta pada awalnya, lantas tidak lagi mencintai satu sama lain pada akhirnya. (hlm. 59)
- Cinta ada karena terbiasa. (hlm. 103)
- Saudara tidak akan seperti itu. Saudara akan membela saudaranya. (hlm. 151)
- Cinta tak hanya sebuah kata-kata. (hlm. 215)
- Apakah aku tidak memiliki arti apa pun buatmu? Apakah aku hanya sebuah permainan untukmu? (hlm. 215)
- Benci tumbuh karena terlalu mencintai. (hlm. 232)
Pesan moral dari buku ini adalah berpeganglah teguh terhadap apa yang kita yakini. Meski sulit, jika kita mau berjuang pasti akan terwujud keinginan kita. Jangan lupa, alam semesta selalu berkonspirasi mendengar permohonan kita.
Ini adalah buku pertama yang saya baca dari seri #indonesia yang diterbitkan GagasMedia. Sangat puas, karena kental sekali nuansa budayanya. Salah satu faktor mungkin karena penulisnya memang tinggal di Bali, jadi pas sekali mendeskripsikan budaya di sana. Berharapnya, di buku #indonesia seri lainnya juga keren seperti ini.
Keterangan Buku:
Judul : Di Bawah Langit yang Sama
Penulis : Helga Rif
Editor : Nurul Hikmah & Rayina
Penyelaras aksara : Idha Umamah
Penata letak : Putra Julianto & Erina Puspitasari
Desainer sampul : Agung Nugroho
Penerbit : GagasMedia
Terbit : 2015
Tebal : 268 hlm.
ISBN : 979-780-811-4
Wah, sudah baca salah satu #indonesia yang digagas gagasmedia. Saya kok menganggap kematian nenek terasa sangat biasa saja ya untuk kepulangan dari luar negeri? Nenek lho? Bukan ibu atau bapak? Tapi karena belum baca, saya belum paham atas pilihan penulis ini..
Di sini Nenek Indira sangat berpengaruh dalam hidupnya, salah satunya adalah ketika dulu dia bersikukuh kuliah sesuai yang inginkan, sang nenek yang mendukungnya dan akhirnya mendapat persetujuan dari orangtua… 😉