Satu pelukan lebih menghangatkan daripada satu pukulan.
Bullying dikategorikan sebagai perilaku antisosial atau misconduct behavior (Jenkins, 1995; Morton 1999), dengan menyalahgunakan kekuatannya kepada korban yang lemah, secara individu atau kelompok dan biasanya terjadi berulang kali (Smith Cousins, & Stewart, 2005; Mongold 2006)
Bullying dapat dilakukan secara verbal, psikologis dan fisik (Kim, 2006). Bentuk perilaku tersebut dikatakan sebagai salah satu bentuk delinkuensi (kenakalan anak) karena perilaku tersebut melanggar norma masyarakat, dan dapat dikenai hukuman oleh lembaga hukum (Thorton, 1992)
Menuliskan postingan ini, karena berseliwernya kasus Audrey yang lumayan viral beberapa hari ini. Kasus bullying memang kerap kali terjadi di sekolah. Begitu juga dengan buku-buku yang dibahas dalam postingan ini ternyata rata-rata memang bersetting sekolah.
Korban bullying terdekat yang paling saya kenal adalah adik kandung sendiri. Dari kecil memang pendiam dan memiliki keterbatasan & kemampuan yang berbeda dengan teman-teman sebayanya. Apapun yang dia punya, mulai dari uang jajan, jam, baju, pokoknya semua yang diminta temannya selalu langsung dikasih begitu saja. Dari SD hingga SMA. Pindah beberapa kali sekolah hanya demi kenyamanan untuk belajar. Saya juga heran, kenapa di setiap sekolah selalu ada budaya bullying?!?
Kedepannya semoga tidak ada lagi kasus bullying. Tidak ada untungnya kok baik pelaku maupun korban. Sama-sama resah gelisah. Percayalah, satu senyuman lebih berarti daripada satu cacian dan satu pelukan lebih menghangatkan daripada memberikan satu pukulan.
Berikit beberapa buku yang bertema bullying yang pernah saya baca:
1. By The Time You Read This, I’ll be Dead
Adalah Daelyn yang merasa hidupnya tak berguna, tak berarti dan tak dianggap. Keputusannya sudah bulat. Dia hanya punya waktu 23 hari untuk menyelesaikan kehidupannya. Dia tak ingin kepergiannya nanti akan menimbulkan rasa kehilangan pada orang lain, terutama orangtuanya.
Kisah Daelyn ini merupakan paket komplit korban bully di sekolah. Kelebihan berat badan yang dimilikinya kerap menjadi bahan ejekan utama teman-temannya di sekolah. Terkadang tanpa kita sadari, kita kerap melontarkan kata-kata ejekan dengan kelemahan fisik seseorang. Seperti si gendut, si kurus,si jelek,si jerawatan, dan lain-lain. Kita lupa bahwa kata-kata bisa membunuh. Kata-kata bisa melukai seseorang. Kata-kata bisa mengubah kepribadian seseorang. Kata-kata bisa menyakiti hati.
Daelyn tidak punya teman meski dia kerap berganti sekolah. Tahu sendiri kan yang namanya anak baru pasti dapat ucapan selamat dengan cara dikerjai. Mungkin maksud orangtua Daelyn memindahkan anaknya agar bisa berubah di sekolah yang baru. Yang ada justru bertambah parah. Di setiap sekolah baru, dia selalu mendapat ‘sambutan bully’. Orangtua memang selalu menginginkan yang terbaik buat anaknya, tapi terkadang lupa bahwa sang anak juga punya pilihan sendiri.
TRIX, pelajar dengan segala permasalahan; pernah tinggal kelas, waktunya habis untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah agar tidak terulang pengalaman pahit tinggal kelas, belum lagi suasana asrama yang bak penjara. Permasalahan bertambah ketika sepupunya, Jo pindah ke sekolahnya. Jo terlibat bullying di sekolahnya yang lama dan mengalami masalah dalam keluarga; tidak bisa menerima kehadiran ibu tirinya. Beban hidup Trix makin berat. Hidupnya saja sudah rumit, apalagi musti mengurusi Jo, sepupunya ini.
Di dunia ini sebenarnya tidak ada anak yang nakal. Yang ada adalah anak-anak yang butuh bimbingan khusus yang biasanya haus akan kasih sayang orang-orang disekelilingnya, terutama orangtua. Masa remaja, masa putih abu-abu memang paling rentan soal urusan kelabilan jiwa. Sekarang ini, banyak sekali remaja yang harus mengalami beban berat akibat permasalahan keluarga yang harusnya menjadi urusan orangtua. Anak yang harusnya sibuk belajar dan menikmati masa remaja dengan indah harus dihadapkan dengan permasalahan keluarga.
3. Our Story
Covernya merepresentasikan isinya; tumpukan buku menjelang UN karena para tokohnya ada murid kelas 3 SMA, tongkat bisbol yang menjadi sejata andalan Nino, serta seragam yang di atasnya ada beberapa alat make up yang merepresentasikan tokoh-tokoh seperti Sisca dan Mei.
Awalnya saya malas membaca buku ini. Pertama, jenis kertasnya buram. Kedua, jenis fontnya yang kecil-kecil dan jarak antar paragraf yang terlalu rapat. Tapi demi membaca nama penulisnya, menjadi jaminan buku ini bakal keren.
Ternyata setelah membacanya, langsung terbius dengan jalan ceritanya yang berisi sekolah buangan. Para tokohnya tidak sempurna. Masing-masing memiliki problem. Yup, remaja zaman sekarang rata-rata problemnya cukup berat, terutama di dominasi dari faktor keluarga. Banyak pesan moral yang di dapat dari buku ini lewat para tokohnya. Penulis membuat buku ini berawal dari bentuk keprihatinannya terhadap maraknya berita miris tentang remaja Indonesia. Berita mengenai bullying, narkoba, tawuran, seks bebas, pelacuran dan masih banyak lagi yang membuat orangtua mana pun akan merasa khawatir.
Diduga depresi, A (16 tahun) nekad meloncat dari balkon lantai 3 gedung sekolahnya. Peristiwa ini terjadi setelah pulang sekolah, sekitar pukul 15.45 WIB. Beruntung saat kejadian, masih ada siswa-siswi yang berkumpul untuk kegiatan ekstrakurikuler. A segera dilarikan ke Rumah Sakit Kasih untuk mendapatkan perawatan. Dari surat yang ditinggalkan A di meja kelasnya, A menyatakan dirinya sudah tidak sanggup lagi menghadapi tekanan sekolah dan di rumah. A juga menuliskan permintaan maaf kepada orangtua dan teman-temannya. Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan yang pasti mengenai kondisi terakhir A.
Inisial A yang disebutkan di headline utama sebuah surat kabar adalah inisial dari Anet. Lalu apa hubungannya denga Ella? Ternyata saat bunuh diri, Anet meninggalkan sepucuk surat dan menyebutkan Ella di dalamnya. Apa yang harus dilakukan Ella dan apakah dia terlibat dengan apa yang dialami Anet?
Novel ini sebenarnya tidak hanya mengangkat kisah hantu-hantu yang ‘dilihat’ oleh Liv, tapi sebenarnya ada tema lain dengan pesan moral yang disampaikan; bullying dan keluarga. Broken home sebenarnya tidak hanya dialami Liz saja dalam novel ini, ada Daniel dan Kenita yang sebenarnya kisah mereka juga nggak kalah miris. Zaman sekarang, anak-anak di bangku sekolah banyak yang mengalami masalah berat di rumahnya. Saya juga mendapati banyak juga murid-murid yang broken home. Pembelajaran, sebenarnya ketika orang tua bercerai, anaklah yang menanggung imbasnya.
6. Unfriend You
Kartrissa adalah si Itik Nerdy: berkacamata, nyaris tidak punya teman. Kemudian, karena satu dan lain hal, dia bertemu dengan angsa yang menaikkan derajatnya menjadi seekor angsa. Cukup menyenangkan, sampai akhirnya dia harus bertemu dengan masa lalunya, kaum itik. Itik-itik itu akan memandangi si Angsa dengan perasaan tidak rela bahwa salah satu dari mereka telah berubah menjadi angsa. Di lain pihak, kaum angsa merasa seharusnya semua itik itu ditangkap saja dan dijadikan bebek goreng.
Katrissa merupakan representasi ababil masa kini, yang ingin diakui keberadaannya di lingkungannya. Menggunakan cara apa pun itu. Termasuk mengubah dirinya yang dulunya itik menjadi angsa. Ternyata menjadi angsa tak segampang yang dia kira. Banyak yang harus dia korbankan, termasuk kesetiaan dan nurani. Ada banyak hal yang sangat bertolak belakang dengan apa yang dikatakan hati kecilnya, termasuk tentang bullying.
Itu tadi beberapa buku bertema bullying. Ada yang mau menambahkan dengan judul buku yang pernah dibaca dengan tema ini?!?
Wah… ini teenlit, ya?
Sudah bukan bacaan saya… Hihihi
Tapi boleh juga sih, karena si sulung juga sudah remaja