buku, resensi

REVIEW 1 Januari

“Kamu nggak percaya kita akan ketemu lagi tahun depan?”

“Hm, kalau boleh jujur, itu hampir mustahil. Kita baru bertemu satu kali. Satu tahun yang akan datang, kita nggak akan ingat wajah orang yang kita temui hari ini.” (hlm. 23)

Erai dan Ocid adalah teman satu kelas di SMA 26 Jakarta. Mereka pertama kali bertemu saat masa orientasi siswa. Waktu itu keduanya dikenal sebagai murid baru yang sering kena omel senior. Mulai dari lupa membawa papan nama berbahan kardus, sampai melawan saat disuruh lompat kodok keliling lapangan upacara. Ocid terang-terangan menolak dan berkata bahwa itu adalah tindakan yang tidak manusiawi.  Selain nasib yang sama pada masa orientasi, semesta tampaknya menginginkan mereka untuk tetap dekat. Undian posisi tempat duduk menempatkan mereka menjadi teman satu bangku. Belakangan diketahui mereka juga sama-sama menyukai serial kartun Detektif Conan, jadi makin banyak faktor yang membuat keduanya menjadi dekat. Satu hal yang sangat kontras dari keduanya adalah fakta bahwa Ocid seorang kutu buku sejati sedangkan Er tidak suka membaca. Er lebih tertarik pada segala sesuatu yang berkaitan dengan gambar. Dijelaskan dalam buku ini, di halaman 3, Er diceritakan dibandingkan novel, dia lebih senang membaca komik. Tapi kenapa di halaman 26 justru pegang buku Laskar Pelangi yang merupakan novel, kan katanya gak suka baca novel, tapi sukanya baca komik, hehehe… x)) Ternyata aku terlewat, setelah baca lagi dengan seksama, di halaman 5 dijelaskan Er berminat pada novel mungkin tumbuh karena pergaulannya dengan Ocid yang kepalanya seperti perpustakaan berjalan.

“Biasanya berapa lama kamu ada di Indonesia?”

“Enggak tentu, kadang satu minggu, dua minggu, bisa lebih, bisa juga kurang dari segitu.” (hlm. 40)

Berbanding terbalik dengan Ocid, Er adalah tipikal siswa biasa pada umumnya. Nilai pas-pasan. Penampilan tidak terlalu menarik perhatian, dan pengetahuan yang ala kadarnya, namun dia sangat mencintai dunia seni. Dia pandai dalam bermusik, jago melukis dan juga giat berlatih menulis novel. Dia bertekad untuk menjadi seorang seniman, di bidang apa pun. Dia bahka sudah melobi orangtuanya supaya diizinkan kuliah di fakultas seni rupa setelah lulu sekolah nanti.

Er banyak mendengar riwayat orang-orang hebat dari Ocid. Menurutnya, kisah mereka sangat menginspirasi. Dia pun ingin suatu hari nanti bisa seperti mereka, yaitu menciptakan sebuah karya yang akan dikenang orang banyak. Seperti para ilmuwan yang selalu dibahas dalam buku pelajaran meski sudah berabad lamanya penemuan mereka berlalu. Atau seperti Leonardo da Vinci dengan mahakaryanya, Monalisa.

Er beruntung punya orangtua yang sangat mendukung cita-citanya. Mereka menyetujui keinginan Er untuk menimba ilmu di dunia seni. Pada hari ulang tahunnya yang keenam belas, mereka menghadiahi Er perlengkapan melukis.

 “Aku mengerti. Mungkin ini terkesan aneh. Buat apa orang seusiaku bergaul sama remaja SMA kayak kamu? Ya, pertanyaan itu nggak sempat terpikir karena aku ngerasa nggak perlu ada batasan tertentu dalam berteman. Kita memang beda usia sepuluh tahun. Terus kenapa? Apa ada yang salah dengan itu? Aku balik tanya ke kamu, Er. Apa yang salah sama kita? Kalau kamu enggak pengin berteman sama aku, bilang saja.” (hlm. 53)

Kedekatan Er dan Ocid memang tak terpisahkan. Bahkan saat nge-date pertama kali pun mereka berbarengan. Awalnya Er mengajak Ocid yang cupu itu untuk dikenalkan dengan Yasmin, cewek populer di angkatannya untuk janjian kenalan di Kota Tua dengan berdalih dia minta ditemani melukis di sana.

Siapa sangka kejadian itu justru membawa Er pada takdir yang tanpa diduganya. Bertemu dengan seorang gadis yang usianya sepuluh tahun lebih tua darinya. Jika Er pandai melukis, gadis bernama Aya ini selain suaranya merdua saat bernyanyi, juga apik memetik gitar. Sejak saat itulah Er berdegup kencang setiap mereka bertemu yang menandakan jika Aya baginya bukanlah gadis biasa. Sayangnya mereka hanya bisa bertemu setahun sekali, saat tahun baru.

“Aku cuma bertanya-tanya, mau dibawa kemana hubungan kayak gini? Mungkin buat kamu bukan masalah ninggalin seseorang selama setahun, lalu kembali lagi seolah baru ketemu kemarin. Tapi buatku ini terasa menyakitkan, Aya. Aku pengin mati tiap kali ngerasa kangen ama kamu, sementara aku tahu sama sekali enggak ada yang bisa kulakukan selain nunggu tahun depan datang. Aku lelah sama semua ini.” (hlm. 104)

Kisah Erai atau biasa disapa Er ini memiliki kisah yang lumayan panjang. Sejak 2004 sampai 2015. Yang artinya kita akan menyimak kehidupan Er selama sebelas tahun itu. Awalnya aku pikir ini hanya kisah cinta tidak biasa antara seorang remaja belasan tahun yang menyukai gadis dewasa. Sebenarnya bukan hal yang aneh, soalnya aku pernah ketemu dengan seorang pemuda yang ternyata menikahi dosennya di tempatnya kuliah, usia mereka terpaut sepuluh tahun. Dan mereka sampai sekarang hidup baik-baik saja. Ternyata kisah Er ini tidak hanya sebatas cinta terhalang usia.

Sebenarnya dari cover yang hanya hitam putih ini udah merepresentasikan jalan cerita buku ini. dalam hidup ini, kita akan mengetahui bahwa dunia ada hitam dan putih. Tapi dunia tak sesederhana itu. Uniknya, kita akan melompat ke dunia paralel, tidak hanya satu tapi ada beberapa. Mungkin agak bingung kalau bacanya nggak telaten, tapi kalo kita simak banget, justru mengasyikkan. Kita akan menelusuri ke kehidupan Er dan Aya dari berbagai versi kehidupan. Udah nonton The King of Eternal Monarch yang salah satu tokohnya adalah Lee Min Ho? Ya kira-kira dunia pararel itu seperti itulah.

Jadi, selain dunia yang kita huni sekarang, ada satu atau lebih kehidupan lain yang juga berjalan secara bersamaan. Tapi kita eggak menyadarinya, itulah dunia pararel. William Sahkespeare pernah bilang, bahwa dunia ini adalah panggung. Seperti itulah gambaran dunia pararel. Sebagaimana biasanya sebuah panggung, dia punya pintu kolong. Pintu kolong itu bukan menuju basemen, melainkan menuju panggung lain yang mirip seperti panggung di atasnya.

Atau bayangkan kita adalah seekor ikan yang hidup di sebuah akuarium. Kita akan menganggap akuarium dan seisinya adalah dunia kita, bukan? Tanpa kita sadari, ternyata ada banyak akuarium lain di sekitar kita.

Munculnya trivia judul-judul film seperti Ada Apa dengan Cinta? Dan Eiffel I’m in Love dan juga lagu Melompat Lebih Tinggi-nya Sheila on 7 menandakan sang penulis memang memahami tahun-tahun tersebut.

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:

  1. Waktu itu seperti anak panah. Sekali lepas, dia berjalan tepat dan enggak pernah berubah arah menuju targetnya. (hlm. 7)
  2. Selalu ada yang pertama kalinya dalam segala hal. (hlm. 17)
  3. Hidup ini memang dipenuhi banyak hal-hal yang tak terduga. (hlm. 37)
  4. Semua itu butuh proses. Akan ada waktunya nanti kamu percaya. (hlm. 79)

Beberapa selipan kalimat sindiran dalam buku ini:

  1. Cewek yang nunggu kelamaan jauh lebih menyeramkan dari ular. (hlm. 9)
  2. Mungkin semesta sedang bekerja supaya bisa jadi manusia yag bermanfaat bagi bangsa dan negara. (hlm. 31)
  3. Tiap-tiap masakan punya ‘nyawa’ yang berbeda-beda. Kalau pakai bumbu instan, di mana nyawanya? Dasar anak muda, penginnya yang cepet beres aja. (hlm. 85)
  4. Kita ini orang dewasa. Mungkin ada yang bilang bahwa ‘uang tidak bisa membeli kebahagiaan’, tapi kehidupan mengajarkan kita bahwa meskipun enggak bahagia, hidup harus tetap berlanjut. Apa yang bisa membuat hidup seseorang berlanjut? Uang. Tanpa uang, kita bahkan enggak bisa membeli sesuatu yang bisa membuat kita bahagia. (hlm. 141)
  5. Hidup menanggung beban masa lalu sungguh bukan hal yang mudah. (hlm. 184)
  6. Kalau cinta, tunjukkin aja sama perbuatan. Bukan cuma ucapan. (hlm. 199)

Keterangan Buku:

Judul                     : 1 Januari

Penulis                 : Pudjangga Lama

Penyunting         : M. L. Anindya Larasati

Penata letak       : Divia Permatasari

Penerbit              : PT Elex Media Komputindo

Terbit                    : 2020

Tebal                     : 200 hlm.

ISBN                      : 978-623-00-1533-5

1 thought on “REVIEW 1 Januari”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s