Uncategorized

REVIEW Into the Magic Shop

Kadang kita harus berhenti berpikir tentang apa yang seharusnya kita katakan dan mengatakan yang diperlukan saja. (hlm. 51)

JIM kecil bersepeda menyusuri pusat pertokoan di Avenue I – daerah yang tidak termasuk dalam rute bersepedanya karena selain pusat pertokoan tersebut, tidak ada apa-apa lagi di sana kecuali lapangan kosong, rumput liar, dan pagar kawat sepanjang 1,6 kilometer di kedua sisi jalan. Lalu tanpa sengaja dia berhenti di Cactus Rabbit Magic Shop, sebuah toko peralatan sulap. Seluruh bagian depan toko itu terdiri dari lima panel kaca vertikal dengan sebuah pintu kaca di sebelah kiri. Hal yang pertama dilihatnya adalah etalase panjang penuh kartu, tongkat sulap, gelas plastik, dan koin emas. Di dekat dinding, ada koper hitam besar yang biasanya digunakan untuk sulap panggung, dan rak-rak buku besar berisi buku-buku tentang sulap panggung, dan rak-rak buku besar berisi buku-buku tentang sulap dan ilusi. Lalu disanalah Jim bertemu Ruth, dan merubah segalanya. Termasuk masa depannya kelak.

Ruth mengajari Jim bagaimana trik-trik sulap. Menurut Ruth, trik sulap biasanya berhasil karena orang-orang hanya melihat apa yang mereka pikir ada di sana daripada apa yang sebenarnya ada di sana. Benak membuat melihat apa yang mereka sangka. Otak, sesibuk apa pun, sebenarnya sangat malas. Dan benar, trik sulap itu berhasil karena orang-orang begitu mudah teralihkan. Tapi mereka tidak teralihkan oleh gerakan tangan. Mayoritas orang yang menonton sulap tidak benar-benar menontonnya.

Core belief adalah kepercayaan yang dipegang kuat seseorang tentang dirinya, orang lain dan dunia, yang terbentuk melalui proses panjang sejak kecil hingga dewasa. Karenanya, hal ini disebut sebagai kepercayaan inti. Hal inilah yang dialami Jim terhadap Ruth. Bukan sekedar bagaimana bermain sulap, tapi bermain dalam kehidupan yang sesungguhnya.

“Aku orang yang layak. Aku dicintai. Aku diperhatikan. Aku peduli pada orang lain. Aku hanya memilih yang bagus untuk diri sendiri. Aku hanya memilih yang bagus untuk orang lain. Aku mencintai diri sendiri. Aku mencintai orang lain. Aku membuka hati. Hatiku terbuka.” (hlm. 93)

Lewat kisah Jim kanak-kanak, kita banyak sekali mendapatkan selipan pengetahuan masalah kesehatan mental, bahasan yang akhir-akhir ini lagi happening diangkat. Dan juga hal-hal menarik lainnya yang baru aku tahu saat membaca buku ini. Apa sajakah itu?

Pertama, Jim memiliki masa kecil yang kelam. Ayahnya seorang peminum. Dia akan pergi minum dan terkadang menghilang sampai berminggu-minggu, dan dia beserta keluarganya ditinggalkan tanpa uang kecuali dari dana bantuan sosial yang mereka dapatkan, yang bahkan tidak bisa mencukupi kebutuhan mereka. Saat ayahnya tidak minum-minum, Jim dan kakaknya akan mengendap-ngendap agar tidak membuatnya kesal. Saat minum-minum, ayahnya akan berteriak-teriak, menyumpah-nyumpah, dan memecahkan barang di rumah, sehingga ibunya mulai menangis. Kakaknya akan menghilang saat itu dan dia bersembunyi di kamar, sambil mendengarkan keadaan kalau-kalau terjadi sesuatu terhadap ibunya yang sakit-sakitan dan hampir selalu berada di tempat tidur. Dia selalu terlihat lebih parah setelah ayahnya minum-minum dan mereka bertengkar. Ibunya akan meneriaki sang ayah yang baru sampai rumah, lalu setelah ayahnya pergi, ibunya membisu. Dia tidak beranjak dari tempat tidur atau makan atau melakukan sesuatu. Dan Jim tidak tahu harus apa yang dilakukan. Broken home, ini bahkan menjadi hal yang sering terjadi dialami anak-anak sampai sekarang. Termasuk Jim yang sering tidak betah di rumah.

Kedua. Setelah bertemu Ruth, Jim mulai menyadari pada usianya ke dua belas, dia sudah mengalami peningkatan kadar kortisol. Hidup dalam keadaan stress berkepanjangan memiliki segala macam dampak psikologi dan fisiologis –rasa marah, depresi, dada sakit, sakit kepala, insomnia, dan sistem kekebalan tubuh yang tertekan.

Ketiga. Jim memang sudah dibekali sulap, tetapi tergantung padanya untuk melatihnya. Menyempurnakannya. Dan untuk terus percaya bahwa yang mustahil bisa menjadi nyata. Kita bisa mencoba membuat realitas baru untuk diri sendiri, tetapi kita tidak bisa mengubah orang yang kita cintai, tidak seberapa besar niat kita untuk melakukanya. Mereka harus memilih untuk mengubah realitas sendiri, dan bukan itulah yang terjadi. Mungkin ini bagian paling menyakitkan dari menjadi anak-anak. Hidup kita tergantung pada orang lain dan tidak bisa kita kendalikan. Seringkali dampak dari pilihan orang lain bisa sangat melukai dan meninggalkan bekas luka abadi.

Dari tiga poin yang dijabarkan sebelumnya, kunci utama sulap dari Ruth yang diberikan untuk Jim adalah sebenarnya bagaimana mengobati inner child Jim yang sangat terluka dan selama ini dia menganggap semua yang dialami oleh ayah ibu dan kakaknya adalah bagian tanggung jawabnya. Bisa dikatakan sebagai beban yang harus diembannya. Padahal setiap manusia punya tanggung jawab masing-masing, dan tidak ada kewajiban bagi orang lain menanggung beban yang lainnya. Mungkin seperti itulah kira-kira filosofi sulap yang diajarkan Ruth untuk Jim.

Ada banyak hal dalam hidup yang tidak dapat kita kendalikan. Itu sulit, terutama saat masih anak-anak dan merasa kita bisa mengendalikan semua hal. Merasa kita bisa mengubah apa pun. Tapi kita memang bisa mengendalikan tubuh dan pikiran. Mungkin terdengar sepele, tapi sangat berpengaruh. Hal ini dapat mengubah apa pun. (hlm. 55)

Ini adalah kisah nyata dari penulisnya. Tentang bagaimana dia melewati inner child yang lumayan berat dialaminya saat masih berumur dua belas tahun. Dan yang paling penting adalah bagaimana cara berdamai dengan masa lalu. Ini bagus banget. Ada beberapa selipan tips dalam buku ini yang bisa kita praktekkan, terutama yang mengalami masalah inner child. Termasuk aku juga, hehehe.. x))

Butuh waktu yang lama bagi Jim untuk melewatinya. Banyak proses yang harus dijalaninya. Dan setelah kita bisa berdamai dengan masa lalu, tentu ini akan bisa menjadi kelebihan untuk kita agar bisa membantu orang lain. Apalagi kita sudah pernah melewatinya, lebih akan paham dengan masa—masa itu. Dan Jim memilih sebagai dokter sebagai panggilan hati, bukan hanya sekedar mengejar pekerjaan bergengsi semata. Jim ingin menolong banyak orang. Semakin banyak menolong orang lain, akan semakin bahagia rasanya.

Dokter bukan pekerjaan. Itu sebuah panggilan. Panggilan yang bukan untuk semua orang. Panggilan yang mengharuskan mereka yang melaksanakannya melakukan lebih dari pekerjaan kantor biasa. Kau harus bekerja dalam durasi yang panjang, karena orang-orang bergantung padamu, dan jika kau gagal, itu berarti mereka meninggal. (hlm. 113)

Kita bisa membaca buku ini tentang bagaimana core belief seorang manusia yang berawal dari “saya tidak punya apa-apa” berkembang menjadi “saya memiliki segalanya” dan berakhir ke “saya tidak perlu memiliki segalanya”.

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:

  1. Tertariklah pada orang lain dengan sungguh-sungguh. (hlm. 24)
  2. Bagi orang itu, meningat namanya adalah hal penting manis dan penting dalam bahasa apa pun. (hlm. 24)
  3. Jadilah pendengar yang baik. Ajak orang lain untuk membicarakan diri mereka. (hlm. 24)
  4. Bicarakanlah hal-hal yang sesuai minat orang lain. (hlm. 24)
  5. Buat orang lain itu merasa penting dan lakukan dengan tulus. (hlm, 24)
  6. Tubuh mengeluarkan sinyal atas apa yang terjadi dalam diri kita. Hal yang sangat luar biasa. Seseorang bisa bertanya bagaimana perasaanmu dan kau menjawab ‘entahlah’ karena mungkin kita memang tidak tahu atau tidak mau bilang, tetapi tubuhmu selalu tahu bagaimana perasaanmu. (hlm. 47)
  7. Tubuh punya pikiran sendiri. Tubuhmu bereaksi, memberikan respons. Terkadang dalam menghadapi situasi, reaksinya benar, tetapi juga bisa salah. (hlm. 47)
  8. Hasil dari menjinakkan pikiran adalah pikiran yang jernih. (hlm. 81)
  9. Seperti begitu banyak hal dalam hidup, kepercayaan kita adalah manifestasi dari pengalaman hidup kita. Dan otak kita adalah gabungan dari pengalaman-pengalaman tersebut. (hlm. 191)

Banyak juga selipan sindiran halus dalam buku ini:

  1. Pada dasarnya semua yang ada di dalam tubuh tidak perlu berjuang untuk mematikan hidup. (hlm. 57)
  2. Jangan percaya pada suara di kepalamu –yang berbicara kepadamu setiap saat. Suara itu lebih sering salah ketimbang benar. (hlm. 67)
  3. Setiap orang punya situasi dalam hidup yang menyebabkan rasa sakit. (hlm. 89)
  4. Sama halnya dengan luka di hati. Kita harus memberinya perhatian agar bisa sembuh. Kalau tidak, luka tersebut akan terus menyakitkan. Terkadang bahkan untuk waktu yang sangat lama. Kita semua pasti terluka. Memang begitu adanya. (hlm. 90)
  5. Saat hati kita terluka, saat itulah hati kita terbuka. Kita bertumbuh melalui rasa sakit. Kita bertumbuh melalui situasi sulit. Itulah sebabnya kita harus menerima setiap kesulitan yang terjadi di dalam hidup kita. (hlm. 90)
  6. Kita semua salah paham. Terhadap satu sama lain. Terhadap diri sendiri. Terhadap situasi. (hlm. 91)
  7. Mengalami rasa sakit bisa menjadi berkah jika seseorang belajar dari rasa sakit tersebut. Namun, saat seseorang menyebabkan rasa sakit dan penderitaan yang tidak perlu, bukan hanya terhadap dirinya sendiri tetapi juga terhadap orang lain, hal itu menjadi hal yang tidak memuliakan atau tidak adil bagi mereka yang berbagi takdir bersamanya. (hlm. 101)
  8. Yang penting adalah kita telah membuka hati. Hati yang terbuka terhubung baik dengan orang lain, dan itu mengubah segalanya. (hlm. 103)
  9. Kita bisa mati seribu kali dalam hidup ini, dan itulah salah satu anugerah paling hebat dari menjadi hidup. (hlm. 192)
  10. Otak memang memiliki misterinya sendiri, tetapi jantung hati menyimpan rahasia lain. (hlm. 216)
  11. Pikiran ingin membagi dan memisahkan kita. Pikiran akan mengajari kita untuk membandingkan diri sendiri, untuk membedakan diri sendiri, untuk mendapatkan apa yang menjadi milik kita karena ada begitu banyak yang harus dikerjakan. (hlm. 216)
  12. Jika ingin luka kita sembuh, kita harus menyembuhkan luka orang lain. (hlm. 217)
  13. Bagaimana kekuatan seseorang memengaruhi kehidupan orang lain. (hlm. 249)
  14. Kita masing-masing memiliki kisah sendiri, dan di setiap kisah ada bagian-bagian yang menyakitkan dan sedih. (hlm. 253)
  15. Kita dapat memilih, kapan saja, untuk melihat orang-orang tepat di depan kita sebagai diri mereka sendiri dan akan menjadi seperti apa mereka nantinya. (hlm. 253)
  16. Kita masing-masing memiliki luka. Dan masing-masing memiliki kemampuan untuk menyembuhkan. (hlm. 253)
  17. Tidak ada kehidupan yang sempurna saat kita dilahirkan, dan tidak ada yang namanya menghindari kenyataan dari penderitaan yang mengerikan. (hlm. 255)

Keterangan Buku:

Judul                                     : Into the Magic Shop

Penerjemah                       : Ayu Yudha

Penyunting                         : Mery Riansyah

Pemeriksa aksara             : Angelic Zaizai

Perancang sampul           : Anastasia Bisenty

Penata sampul                  : Teguhra

Penerbit                              : Semicolon Publisher

Terbit                                    : 2020 (Cetakan pertama)

Tebal                                     : 262 hlm.

ISBN                                      : 978-602-6682-60-4

1 thought on “REVIEW Into the Magic Shop”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s