“Garis takdir yang diberikan Tuhan tak sepenuhnya membahagiakan. Ada kalanya jalan itu dipenuhi keburukan.” (hlm. 113)
Kita dan manusia terlalu sibuk melihat ‘tidak menjadi apa-apa’ atau fase gagal sebagai satu penyakit. Padahal pilihan ‘tidak menjadi apa-apa’ bisa merupakan titik tengah untuk menghela napas setelah berlari, atau menjadi tahap merenung apakah sejauh ini sudah benar-benar bahagia, apakah benar jalan yang ditempuh.
Mereka yang tidak menjadi apa-apa karena mencecap kegagalan juga bukan produk yang tidak layak pakai, sebab perjalanan hidup dan waktu keberhasilan tidak akan meninggalkan mereka yang tidak membentangkan bendera ‘menyerah’. Orang yang mengusahakan diri menjadi the best in the world tidak dilarang meninggalkan haluan, tidak dilarang berbuat salah, tidak dilarang untuk berusaha menjadi baik.
Sudah sewajarnya manusia selalu berada dalam konsep ada dan ketidakberadaan diri. Kita boleh menjadi gagal, tapi tidak untuk menyerah. Ada banyak yang bersama kita untuk menyadarkan bahwa celah mempertahankan eksistensi diri dalam pertarungan ada dan tidak ada selalu bisa diusahakan.
Kita diajarkan bahwa doktrin keberhasilan yang terus-menerus dan selalu berada dalam kepuasan diri menjadi tak relevan lagi. Beberapa kebahagiaan hidup didapatkan hanya dengan mensyukuri hal yang ada dalam diri, dan tidak hanya mengukur seberapa kita berhasil meraih apa yang disebut sebagai titik keberhasilan.
Kita memang mudah sekali terpaut pada perasaan sedih, apalagi yang membekas terlalu dalam sebagai trauma. Ada orang yang mendalami keyakinan bahwa dia telah rusak sebegitu dalamnya, sehingga merasa tidak lagi mampu menggenggam takdir baik, tidak lagi yakin mampu menjalani hidup dengan tenang, tidak lagi merasa pantas untuk bahagia.
Kita tidak bisa mengubah takdir buruk, karena hal itu sudah terjadi. Jika terlalu sulit menanggungnya sendirian, berbagilah dengan mereka yang mengerti. Jika sangat mengganggu hidup kita, bertemulah dengan tenaga ahli. Kita bukan produk gagal. Ada amsa dalam hidup ini dimana kita berhak menggenggam kebahagiaan tanpa tersekat.
Ada beberapa bahasan yang menarik dalam buku ini:
- Hustle Culture. Tidak ada yang salah dalam mengusahakan sesuatu. Kerja keras pun bukan dosa besar. Namun, kisah ini membawa pemahama yag tidak benar-benar baru, bahwa memaksakan diri terfokus hanya pada satu hal tanpa bernapas bukan pilihan yang baik. Keping terakhir dari kisah manusia yang terpenjara keberhasilan ini adalah satu bentuk nyata dari harga yang harus dibayar atas ambisi yang besar. Beberapa orang membayarnya dengan cara lain, misal karena pekerjaan dilakukan terus-menerus, dirinya merasa amat kelelahan, kehilangan kedamaian, atau bahkan mencapai burnout, kondisi tertekan secara psikologis karena pengabaian kebahagiaan demi mencapai keberhasilan. Padahal burnout mengarah pada mental issues yang bisa berujung depresi. Jadi, hustle culture bukan sesuatu yang patut dibanggakan, bukan pula pencapaian yang harus dilakukan semua orang. Lagi pula, bekerja untuk waktu yang sangat lama tidak menunjukkan produktivitas jika dilihat dari kualitas pekerjaan. Coba, seberapa lama manusia bisa mempertahankan fokusnya menjalankan suatu pekerjaan tanpa istirahat yang cukup? Kerja keraslah dengan bijak untuk mendapatkan keberhasilan tanpa mencela kebahagiaan, dan berbahagialah tanpa merasa bersalah karena tak melakukan apa-apa. Kadang kala, bermalas-malasan pun tak apa. Jangan memfokuskan diri pada satu hal tanpa memikirkan esensi kehidupan yang lain. Jangan lupa bahwa keberhasilan akan pekerjaan bukan satu-satunya alasan untuk mendapatkan kebahagiaan.
- Irrational fear. Ada orang yang niatnya mungkin ingin membantu kita menemukan insight soal beban mental dari ekspetasi berlebih dan tidak realistis. Mungkin mereka sebenarnya sadar kalau ada seharusnya mereka enggak perlu berlaku sejauh itu, istilahnya irrational fear, buat menjelaskan ketakutan yang menimbulkan perasaan terbebani secara mental dan sesuai namanya karena irrasional, ketakutan ini tidak bisa dikendalilkann dengan mudah. Kita berusaha secuek apa pun, ketakutan ini melekat kuat dan berujung kepikiran dan terbebani. Namanya berharap, ada kemungkinan kecewa. Namanya juga dunia. Kita bukan pemeran utama terus-terusan. Kekecewaan itu konsekuensi dari berekspetasi. Sebelum melimpahkan kekecewaan ke orang lain sampai mereka merasa bersalah, hendaknya berpikir berkali-kali dulu. Kita sendiri yang memutuskan untuk berharap, kan? Jadi kecewa adalah milik kita.
- Passion. Ada orang yang tidak bekerja sesuai passion-nya karena keadaan ekonomi dan kesempatan. Keinginannya yang semula sejalan dengan bakat yang dimiliki terkubur dengan pertanggungjawaban dan keinginan lain, seperti tanggung jawabnya sebagai suami dan ayah dari calon bayi di dalam kandungan istrinya. Jika kita mendapatkan privilege untuk bisa menyelaraskan bakat dan minat, maka buatlah seperti itu. Bukan berarti kita tidak boleh mengikuti minat, tetapi jalan yag ditempuh akan lebih berat dibandingkan yang didasarkan kepada bakat. Masih bisa diusahakan, tetapi kemungkinan tersalip oleh orang-orang yang bakatnya di sana sangat besar. Jadi, jika kita bekerja berdasarkan minat, tetapi tak memiliki passion di sana, kita berada di tahapan yang sama yaitu kehilangan kesempatan untuk menyelaraskan bakat dan minatnya. Memaksakan pengharapan pada hal yang benar-benar semu hanya akan member pilihan: apakah kita akan beradaptasi dengan usaha lebih keras, atau kita tumbang karena di sana bukan kawasan kita.
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
- Mungkin saja, ketika mengejar hal yang bukan milik, manusia mengejar keberadaan diri dan takut untuk terlelap. (hlm. 5)
- Ada masa dalam hidup di mana kita berhak menggenggam kebahagiaan tanpa tersekat. (hlm. 51)
- Ada juga yang membuat kebahagiaan diri dan keinginan untuk menerima diri hilang, yakni keyakinan bahwa orang lain memiliki pencapaian lebih baik. (hlm. 62)
- Menjadi apa pun diri kita, yang paling penting dalam hidup kita adalah kita bahagia. (hlm. 82)
- Ekspetasi adalah bentuk harapan eksternal yang menjadi penjara bagi jiwa manusia. (hlm. 92)
- Seharusnya ekspetasi orang yang orang lain kasih bukan ‘KEWAJIBAN’. (hlm. 96)
- Garis takdir yang diberikan Tuhan tak sepenuhnya membahagiakan. Ada kalanya jalan itu dipenuhi keburukan. (hlm. 113)
Keterangan Buku:
Judul : Tak Apa-apa Tak Jadi Apa-apa
Penulis : Mulasih Tary & Sofia Alvirzhie
Penyunting : Zhivana A.U.
Pemeriksa aksara : Aditya
Ilustrasi : Firsta Atinda
Layout : Mas Adro
Desain sampul : SaveAs
Penerbit : Checklist
Terbit : 2021
Tebal : 182 hlm.
ISBN : 978-623-7661-56-6