resensi

REVIEW A Cup of Tarapuccino

“Saat pertama kali melihatnya, kau akan merasa seolah melihat sebuah peach dengan warna kulitnya yang cantik, membuat orang pasti tak tahan untuk mengupasnya, dan isi di dalamnya juga tak kalah mempesona. Tapi, di saat kau memakannya, pertama-tama kau akan terkejut akan rasa asamnya yang sangat. Tapi saat kau terus mengunyahnya, kau akan merasakan rasa dan sensasi yang luar biasa, sensasi rasa yang elegan, yang membuat kau tak akan bisa melepaskannya.” (hlm. 44)

Jika saja Tara dihadapkan pada selembar kuesioner tentang alasan-alasan yang mendasarinya mengambil keputusan untuk menikah, barangkali yang akan bermunculan di lembar jawabannya adalah melalui teori-teori pragmatis. Tentang usia yang sudah cukup matang, tentang hidup yang tergolong mapan, juga tentang seribu pertimbangan dan masukan berbagai pihak bahwa akan lebih baik jika dia dan Raffi tak hanya sekedar menjalankan bisnis bersama. Melainkan lebih dari sekedar itu.

Tak dia pungkiri, semua itu adalah jawaban pragmatis. Jangan harap ada jawaban –meski hanya sebait- yang mengungkap tentang cinta, passion, simpati, kasih sayang, atau apapun yang mampu mencerminkan sejauh mana posisi Raffi dalam hatinya. Karena nyatanya, posisi itu sama sekali tak beranjak.

Jadi, apakah keputusan yang telah dia ambil itu benar? Jika ya, mengapa sub folder itu tak kunjung berhasil dia delete, meski tiga tahun sudah tersimpan dalam hard disk memorinya? Antivirus yang melindungi sub folderitu seakan-akan memiliki kekuatan yang melebihi virus-virus pengganggu disekelilingnya. Antivirus yang sampai hari ini tak meluncurkan seinci pun keyakinan Tara bahwa dia masih hidup. Dia. Hazel.

Debu itu bernama masa lalu

Terlalu tebal, terlalu memerihkan enggan untuk menyingkir,

Bahkan tak terusik jua oleh pijar surya yang menebar hangat.

 

Inginku berteriak lantang pada dunia

Biarlah waktu akan menjawab

Biarlah waktu yang bersuara

Tapi teriakan itu kubungkam sendiri

Lalu kulumat dan kutelan bulat

 

Aku tak mungkin menunggu waktu

Karena waktu tak pernah memihak

Pada mereka yang pasrah menunggu

Pada mereka yang kaku berdiri

Juga tak bisa kupicingkan mata dari semua yang mengintip di balik punggungku

 

Namun hari ini, detik ini

Biarkanlah aku untuk sesaat

Menarikan wujudmu

Melepas rinduku…inginku..

Hanya sebatas imaji

Dan dalam jarak yang tak jua mampu ‘tuk mendekat. (hlm. 290)

Bread Time Bakery. Salah satu yang membedakan bakery ini dengan bakery sejenis lainnya, ataupun kedai makanan mana pun di Batam ini; pengunjung pria dilayani oleh pramusaji pria, dan pengunjung wanita oleh pramusaji wanita pula. Selain itu, para pramusaji wanita semuanya mengenakan jilbab. Dan jika yang datang adalah keluarga atau rombongan yang heterogen, maka yang melayani adalah pramusaji pria.

Bakery yang menggusung motto ‘Time 2 Bread’ ini dikelola bersama oleh Tara dan Raffi. Saudara sepupu yang selalu bersama. Awalnya, bakery ini menyajikan spesialisasi beraneka menu roti, pastry, pie, muffin, dan petit cake. Tara mengubahnya menjadi sebuah bakery yang sekaligus menyajikan aneka hidangan komplit bercita rasa lokal. Mengurangi porsi makanan ala western hingga 20 persen. Menonjolkan cita rasa lokal, namun tetap berkualitas.

Banyak kalimat favorit:

  1. Siapapun akan sulit mengingkari bahwa cinta memiliki kekuatan besar yang mampu melunturkan kekerasan hati. Bahkan tak jarang pula menjerat manusia dengan hasrat ingin memiliki yang begitu besar. (hlm. 11)
  2. Usia boleh dini, tapi tak lantas inovasi juga harus dangkal. (hlm. 27)
  3. Perempuan mana yang mau percaya akan keserusan seorang anak kuliahan sepertimu untuk menikah? (hlm. 43)
  4. Penampilan terkadang tak mencerminkan kemampuan seseorang. (hlm. 78)
  5. Tidak ada yang lebih baik dari yang terbaik. (hlm. 207)
  6. Setiap orang pasti pernah berbuat khilaf. (hlm. 281)

Ekspetasi saya saat membaca buku ini adalah menemukan banyak filosofi hidup dari roti,pastry, pie, muffin, atau  petit cak. Seperti saya menemukan filosofi hidup dari kopi di buku Riawani Elyta sebelumnya, The Coffe Memory. Ah, sayangnya sampai akhir cerita tidak menemukan filosofi itu.

Poin lebih dari buku ini adalah mengambil setting Batam dan cukup banyak teka-teki yang disuguhkan meski endingnya bisa ditebak. Covernya terdiri dari dua laki-laki dan satu perempuan, representasi dari sosok Tara, Raffi, dan Hazel.

Hikmah yang bisa kita petik dari buku ini adalah seseorang yang terlihat jahat terkadang ada sifat baiknya. Kejahatan yang dilakukan terkadang untuk kebaikan seseorang. Sifat jahat memang membutuhkan alasan.

Keterangan Buku:

Judul                            : A Cup of Tarapuccino

Penulis                          : Riawani Elyta, Rika Y. Sari

Penyunting bahasa        : Mastris Radyamas

Penata letak                  : Puji Lestari

Desain sampul              : Andhi Rsydan

Penerbit                        : Afra Publishing – Indiva

Terbit                           : 2013

Tebal                            : 304 hlm.

ISBN                           : 978-602-8277-88-4

2013 Indonesian Romance Reading Challenge

https://luckty.wordpress.com/2013/01/04/2013-indonesian-romance-reading-challenge/#comment-959

http://lustandcoffee.wordpress.com/2013-indonesian-romance-reading-challenge/

24 thoughts on “REVIEW A Cup of Tarapuccino”

  1. salut saya dengan posting-posting kk
    perlu usaha buat nyari referensi buat bikin post seperti di blog ini
    kurang lebih sama kayak saya, cuma sayangnya saya orang nya visual
    susah baca buku tebel yang tulisan semua
    mesti ada visualnya

  2. Ta-Da begitu melihat buku yang berunsur coffe dalam judul maupun covernya membuat ku menarik karena aku berpikir filosofi dari coffe itu pasti membuat cerita yang disajikan manis dengan sedikit unsur pahit didalamnya.

    Aku mempunyai kesimpulan bahwa pada setiap buku mempunyai suatu pesan dan ditambahkan racikan quotes untuk memperindah pesan yang akan disampaikan.

    Untuk review sepertinya semua buku sukses di review dengan baik d(^^)b good job!! buat mbak luckty 🙂

    Terus mereview dengan baik untuk mbak luckty (^^)9 semangat ’45 hehe ikutan #GiveawayPustakawin Hope me luck 🙂 ini review ke => *5

  3. Pesan bukunya bermanfaat sekali

    Hikmah yang bisa kita petik dari buku ini adalah seseorang yang terlihat jahat terkadang ada sifat baiknya. Kejahatan yang dilakukan terkadang untuk kebaikan seseorang. Sifat jahat memang membutuhkan alasan.

    Reviewnya ciamik mbak. 🙂 suka suka suka 🙂 🙂 🙂

  4. Penampilan terkadang tak mencerminkan kemampuan seseorang. (hlm. 78) ini quotesnya bagus banget menurutku…. aku ingin baca seutuhnya… apalgi ada berbau cofeenya 😀

  5. “Ekspetasi saya saat membaca buku ini adalah menemukan banyak filosofi hidup dari roti,pastry, pie, muffin, atau petit cak.”
    Aku suka filosofi. Dari iming2 ini saja, aku sudah sangat tergiur membacanya. Jadi teringat filosofi Mocha ala Novel The Mocha Eyes .
    “Perasaan manusia itu seperti cangkir, setiap saat diisi dengan berbagai macam hal. Kamu tidak akan merasakan bahagia jika kamu membiarkan cangkirmu diisi penuh dengan sesuatu yang rasanya pahit. Rasa cangkirmu itu berdasarkan apa yang kamu pilih!”
    Hampir setiap sisi novelnya beraroma mocha dan kopi. Jempol empat buat penulisnya.

  6. Penulisnya 2 tapi dalam 1 cerita? Wah, kayaknya seru nih. Kalau boleh ngasih masukan buat Luckty, di akhir sinopsisnya dikasih bintang penghargaan dari Luckty dong. Seperti di RC -nya Goodreads. Cuman saran sih… ^_^

Leave a comment