Sebenarnya minggu ini saya berniat off nge-blog dulu karena selain bulan puasa, juga karena waktu terkuras untuk PPDB Online di sekolah, sampe rumah biasanya langsung tepar. Alhasil waktu, tenaga dan pikiran tentunya nggak akan sempat untuk meluangkan waktu untuk membaca apalagi ngeblog x))
Tapi, begitu tahu jika malam ini Mata Najwa bertema Menebar Virus Baca, ditambah lagi tamu-tamu yang diundang adalah para pegiat literasi bergerak (dan bulan lalu mereka pernah di undang ke Istana dan bertemu langsung dengan Bapak Jokowi), saya bertekad untuk nonton. Dan kebetulan saya lagi ‘libur puasa’, jadi pas malam juga ‘libur tarawih’ dan bisa nonton ini x))
BACA: Para Pegiat Literasi di Undang ke Istana
Tahun 2016 menurut data UNESCO, minat baca Indonesia sangat memprihatinkan. Hanya 0,001 %. Artinya dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Riset berbeda bertajuk “Most Littered Nation in the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke 60 dari 61 negara soal minat membaca. Ini artinya, Indonesia persis berada di bawah peringkat Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Penilaian berdasarkan komponen infrastruktur Indonesia berada di urutan ke 34 di atas Jerman, Portugal, Selandia Baru dan Korea Selatan. Hal ini dipaparkan Anies Baswedan di final Gramedia Reading Comunity Competition 2016 di Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta. Kenyataan itu, menurut Anies, menunjukkan Indonesia masih sangat minim memanfaatkan infrastruktur. Jadi menurutnya, indikator sukses tumbuhnya minat baca tak selalu dilihat dari berapa banyak perpustakaan, buku dan mobil perpustakaan keliling. Membaca bisa menjadi budaya perlu beberapa tahapan. Pertama, mengajarkan anak membaca, lalu membiasakan anak membaca hingga menjadi karakter, setelah itu barulah menjadi budaya.
BACA: Serba-serbi Minat Baca (Part 1)
Sebenarnya bukan hanya sekali ini Mata Najwa membahas tentang minat baca, sebelumnya juga pernah dengan tema ‘Tak Sekedar Membaca’ yang menghadirkan para penggerak literasi. Beberapa diantaranya adalah Ridwan Alimuddin (Perahu Pustaka), Ridwan Sururi (Kuda Pustaka) dan Okky Madasari. Dan kali ini juga masih membahas tentang minat baca dengan menghadirkan Bapak Misbah & Kakak Agus dari Noken Pustaka, Sugeng Hariyono (Motor Pustaka, Lampung) dan Firman Venayaksa (Rumah Dunia, Banten)
BACA: Para Pejuang Literasi; Sugeng Hariyono
Kalau menyimak tulisan-tulisan saya di blog ataupun sosmed, saya adalah salah satu orang yang tidak percaya dengan minat baca rendah. Kenapa? Seperti yang sering saya katakan, jika kita turun langsung ke lapangan, kita akan menemukan minat baca yang tinggi. Yang rendah itu justru sarananya, nggak sebanding dengan kebutuhan pembaca. Yang bikin nyesek adalah pernah saya menulis tentang masyarakat kita selalu mengeluh bahwa minat baca itu rendah, sementara punya buku dipinjam pelit. Eh, malah ada yang nulis status tandingan kalo mau baca buku ya beli, atau apa gunanya perpustakaan. KEZEL!! X)) #CAPSLOCKJEBOL
Mungkin orang-orang yang beranggapan seperti itu nggak tahu rasanya mahal untuk membeli sebuah buku. Janganka beli buku, buat makan aja susah. Mungkin bagi mereka bahwa lebih baik buku disimpan di dalam rak, daripada dipinjam tapi tapi rusak. Padahal kan nanti juga buku bakal rusak dimakan rayap x)) #masihkezel
Orang-orang dengan anggapan seperti ibarat jatuh cinta yang posesif, ingin menikmati cintanya sendiri. Nggak mau dibagi untuk orang lain. Sebenarnya saya awalnya juga sempat khawatir dengan buku-buku yang saya letakkan di perpustakaan sekolah tempat saya bekerja. Memang akan beresiko besar jika bukunya akan rusak ataupun hilang. Tapi, nggak akan sebanding dengan kebahagiaan ketika melihat murid-murid unyu yang berebutan untuk membaca buku-buku fiksi. Dan itu sudah saya jalani sejak tahun 2011. Ternyata rasa kekhwatiran buku akan berkurang karena hilang ataupun rusak, justru malah banjir rejeki mendapat kiriman buku baik dari penulis maupun penerbit yang terus mengalir hingga saat ini. Bekerja di perpustakaan artinya belajar percaya dengan orang lain, belajar percaya bahwa buku yang dipinjam akan bermanfaat, belajar percaya bahwa buku yang dipinjam akan dikembalikan. Jika kamu masih pelit meminjamkan buku apalagi memberikan buku untuk orang lain, berarti belum ada rasa percaya pada orang lain x))
BACA: Serba-serbi Buntelan
Cukup curcolnya, balik ke Mata Najwa. Berikut cuplikan kalimat dari beberapa penggerak pustaka yang saya ambil dari twiter acara ini:
SUGENG HARIYONO (Motor Pustaka, Lampung)
“Yang saya dapat kenikmatan ketika anak-anak bisa tersenyum menemukan buku. Ini kepuasan tersendiri untuk saya. Pernah ada anak enggak mau mandi, bahkan nangis. Katanya nunggu Motor Pustaka belum lewat. Apa yang saya lakukan membuat anak-anak sejauh ini. Terjalin interaksi orangtua & anak, saat memilih buku. Rencana ke depan adalah membuat satu tempat tertentu untuk menyimpan semua koleksi buku. Rencana lain adalah membuat pemutaran-pemutaran film bermuatan positif bagi ank-ank di kampung. Yang tidak suka baca, tidak akan kita paksa, tapi kita akan buat bioskop pustaka untuk mereka. Pengetahuan tidak harus dari buku, tapi juga film yang berisi pembangunan karakter.”
MISBAH SURBAKTI (Noken Pustaka, Papua)
“Sebagai guru saya punya beban moril. Apa yang kita lihat, saya laporkan. Sepuluh tahun lebih, tidak ada respon. Kita harus bergerak. Bersama relawan kita kumpulkan buku. Kita mulai gerakan itu di sekolah. Anak-anak yang mampu meringkas dari cerita yang mereka baca, kita jadikan relawan untuk di dalam sekolah. Ada relawan pemanggul, relawan motor, relawan perahu, kuda juga dan ojek pustaka. Tidak pernah mikir sebanyak ini. Alhamdullilah ketemu orang-orang baik, ada orang punya lebih & mau bantu kita. Kalau noken dapat buku otomatis sekolah kan bisa pinjam, tapi ini jadinya kebalik. Ketika saya tanya anak-anak, malu tidak jika bapak keliling bawa buku begini, ternyata mereka bangga. Rencana ke depan adalah membuat perahu pustaka, agar anak-anak memiliki galeri terapung. Berpartisipasilah membangun tanah papua, dengan apa saja yang dipunya meski itu sesuatu yang kecil. Sesuatu yang kecil jika dilakukan dengan tulus, maka hasilnya nanti akan bsa dilihat.”
AGUS MANDOWEN (Noken Pustaka, Papua)
“Saya terinspirasi dari gerakan yang bapak (Misbah) buat. Saya lihat adik-adik bawa pulang buku. Kenapa mereka bisa bawa buku untuk bagi di kompleks, sedang saya yang badan besar tidak bisa bawa ke kampung-kampung? Pertama kali bawa noken (isi buku), orang di kampung bilang saya gila, Saya puas liat adik-adik yang kulit hitam rambut keriting bisa pegang buku, liat gmbar & tersenyum. Kesenangan (melihat adik-adik tersenyum) lebih besar dibanding orang kasih uang ke saya. Saya akan jadi relawan sampai kapan pun saya bisa, selama saya masih bernafas.”
FIRMAN VENAYAKSA (Rumah Dunia, Banten)
“Forum TBM adalah jejaring bersama, karena dengan cara itu kita bsa saling menguatkan. Kita kerjasama dengan KPK, diamanahi sekitar 2.500 buku yang memunculkan nilai-nilai integritas. Kita juga mendongeng, berdiskusi, termasuk juga memberikan edukasi tentang literasi antikorupsi. Kami terbantu ketika ada instruksi Presiden setiap tgl 17 bukubuku boleh dengan gratis didistribusikan. Bagaimana orang-orang menjudge minat baca masyarakat itu rendah, bukunya tidak ada di sekeliling kita. Mari kita distribusikan buku-buku ke masyarakat. Baru bicara minat baca, saya yakin tidak rendah. Bicara gerakan literasi, smua orang harus peduli, yang bisa kita lakukan mendonasikan buku ke teman-teman TBM.”
Catatan Najwa, 7 Juni 2017
- Bangsa yang besar pasti menghargai ilmu pengetahuan, menempatkan buku dengan penuh kemuliaan.
- Menjadikan bacaan sebagai bagian penting kehidupan, pondasi bagi melesatnya berbagai kemajuan.
- Apalagi republik ini didirikan orang-orang yang gila membaca, tekun bergelut dengan segala ide dan kata-kata.
- Sudah seharusnya negara bersikap serius pada literasi, menyiapkan generasi yang mencintai argumentasi.
- Jangan biarkan anak-anak tumbuh dalam taklid buta, yang dididik hanya untuk tunduk begitu saja.
- Dengan budaya membaca di atas rata-rata, sebuah bangsa punya modal untuk menjadi istimewa.
- Rakyatnya akan berwawasan luas dan terbuka, yang tak minder dalam menghadapi dunia.
- Sanggup bersaing dalam penemuan, produktif dalam penciptaan, bukan bangsa konsumen bak sapi perahan.
- Ini tantangan yang harus kita upayakan sepenuh hati, bersama turun tangan untuk gerakan literasi.