Uncategorized

REVIEW Dompet Ayah Sepatu Ibu

“Ibumu punya retak, ayahmu punya retak. Memaafkan mereka adalah obat segala obat.” (hlm. 184)

ZENNA. 18 tahun. Jarak usia Zenna dengan Hayati adiknya yang paling kecil, 14 tahun. Jarak usia Zenna dengan kakak tertua, 12 tahun. Saat kakak tertua Zenna berdiri sebelah-sebelahan dengan Hayati, bentuknya sudah seperti ayah dan anak. Jarak usia mereka 26 tahun. Sebagai anak paling tengah, Zenna paling tak terlihat di rumah. Paling tak dipedulikan. Paling apa-apa harus sendiri. Tak ada bertanya tentang hidup, tak ada tempat menangis dan mengeluh. Zenna tak mau garis kemiskinan itu terus berlanjut. Semua harus berhenti di dirinya. Tangis kelaparan keluarganya harus ia usap lewat keringat. Dulu ia menjual jagung rebus pada kawan-kawannya di sekolah kaki gunung, kini Zenna menjual berbagai makanan ringan di kampusnya. Satu fakultas tahu, ada mahasiswi yang sekalian menjajakan makanan, bawaannya juga tak sedikit, dan dia itulah Zenna. Beberapa konter makanan di fakultas berbeda bahkan meminta Zenna juga menyediakan untuk tempat mereka. Zenna punya langganan tiga konter di tiga fakultas berbeda. Kesehariannya sudah repot memasak, bersih-bersih rumah Makcik, mengerjakan tugas kuliah, kerja di toko sepatu Juwita. Tak ada waktu bergaul, tak ada waktu ikut organisasi, tak ada waktu membaca mading.

ASRUL. Membeli koran jadi aktivitas rutin Asrul tiap pergi ke pasar. Jika tahun lalu ia tinggal kelas karena tak bisa membaca, maka koran-koran yang Umi belikan membuat lidahnya justru secepat petir saat membaca apa pun yang ditulis gurunya. Saat kenaikan kelas, Asrul berlari ke rumah Bapak. Ia perlihatkan rapornya. Angka bahasa Indonesia tertulis 10. Padahal saat waktu tinggal kelas, nilai di mata pelajaran ini hanya tiga. Kabar bahwa Asrul adalah konsultan cinta itu tersebar ke antero sekolah. Tiap hari, ada tiga sampai lima teman yang memintanya untuk didiktekan membuat surat. Uangnya yang tak seberapa itu ia gulung lalu ia ikat dengan karet sayur. Setiap hari uang itu bertambah. Saat sudah lumayan, ia kirimkan pulang ke Umi.

Kelas demi kelas mereka lewati. Sejak pertemuan di angkot, Asrul dan Zenna belum pernah saling sapa lagi. Mereka hanya lihat-lihatan dari jauh. Sesekali Asrul melihat Zenna berjalan di lorong kampus. Sesekali Zenna melihat Asrul dengan teman-temannya di dekat mading atau organisasi. Kuliah adalah kemewahan bagi mereka. Untuk biaya hidup, menjadi tukang kliping dan sesekali bisa menulis di Koran, uangnya tak seberapa. Kadang pas-pasan, seringnya tidak. Bagaimana bisa membuatkan rumah untuk Umi kalau begini? Jangankan untuk itu, bisa jadi kuliahnya malah terancam. Semester dua di depan mata dan harus bayar lagi.

Ada banyak hal-hal menarik dalam buku ini:

  1. Sandwich generation: Zenna tumbuh di keluarga besar yang memiliki saudara banyak. Mau tak mau, terkadang memiliki saudara banyak harus berbagi dengan saudara yang lain, apalagi sepeninggal Abah. Rupanya kepedulian Zenna, ia wariskan dari Umak dan Abak. Begitu pula Asrul, selain menghidupi dirinya di tanah rantau, juga mengirimkan uang ke kampung untuk Umi dan adiknya.
  2. Nikah muda x kuliah: Jangankan zaman dulu di era Asrul dan Zenna masih muda, di zaman sekarang ini masih seringkali menemukan siswa yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Dan tak sedikit pula para orangtua justru menikahkan anaknya di usia muda, tapi tak jarang bukannya mengurangi beban tapi justru menambah beban.
  3. Merantau: di Minangkabau, orangtua menyerahkan anak mereka ke surau, ke pesantren, ke pengajian, atau bahkan merantau ke pulau seberang sejak dini. Maka jangan heran jika banyak pemuda Minang merantau, dan belum pulang jika belum sukses.
  4. Uang tambahan: Jika Asrul mencari uang tambahan dengan cara membuatkan surat cinta pesanan teman-temannya, Zenna memilih berjualan makanan di kampusnya.
  5. Berjuang dari nol: Sama-sama berasal dari keluarga tidak mampu, membuat Asrul dan Zenna sama-sama harus berjuang lebih keras dibandingkan dengan teman-teman seumuran mereka. Tidak hanya menghidupi diri sendiri, tapi juga bagi para keluarga mereka.

Membaca kisah Asrul dan Zenna dalam buku ini sebenarnya gak relate dengan kehidupanku. Kisah Asrul dan Zenna ini justru relate dengan kehidupan bapak dan mamak. Ya karena era kehidupan mereka mungkin kurang lebih sama. Kisah Asrul dan Zenna ini memang terinpirasi dari kisah orangtua penulisnya. Zaman orangtua kita memang rata-rata hidup susah. Jangankan untuk pendidikan, untuk makan buat besok pun tak jarang tak mencukupi. Justru Joven sepertinya yang seumuran denganku, hahaha… x))

Habis membaca buku ini jadi kepikiran buat menulis kisah bapak dan mamak, apalagi semenjak setahun terakhir pasca kecelakaan, bapake mengalami demensia; lupa dengan hal-hal yang baru tapi justru ingat jelas dengan hal-hal lampau termasuk masa kecilnya. Semenjak sakit, bapak yang dulunya jarang bercerita dengan anaknya, justru kini jadi rajin bercerita. Meski ceritanya tak jarang hanya diulang, tapi aku tak pernah bosan mendengar kisah-kisah yang langsung diceritakannya.

Buku yang menceritakan kisah orangtua biasanya hanya ayah atau ibu saja, tak jarang menguras air mata saat membacanya. Apalagi buku yang menceritakan kisah sepasang orangtua sekaligus seperti ini, maka jangan heran jika buku ini cetak ulang berkali-kali. Untuk buku aku yang beli ini, memasuki cetakan kedua. Sekarang buku ini sudah memasuki cetakan ketujuh. Berharap, buku ini juga nantinya diangkat ke layar lebar. Saranku, dengan tambahan setting Sumatera Barat yang lebih kental tentunya, tentu menarik jika dilihat secara sinematografi.

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:

  1. Apa material termahal di dunia? Tangis bangga ayah dan ibu. (hlm. 1)
  2. Cinta seorang ibu lahir saat kau lahir. Cinta seorang ayah tumbuh saat kau tumbuh. (hlm. 11)
  3. Tanngis diam-diammu di tanah rantau, menggelora jauh ke hati ayah ibumu di kampung. (hlm. 18)
  4. Benar jika kau tak pernah memilih lahir dari orangtua yang seperti apa. Begitu juga orangtuamu, mereka tak pernah memilih melahirkan anak yang seperti apa. Maka keduanya dapat tanggung jawab dan anugerah yang sama. (hlm. 25)
  5. Rindu bukan diucapkan, melainkan dirasakan dalam hati, dilaksanakan dengan kaki. (hlm. 57)
  6. Api paling panas padam oleh tangis perjuangan ibu. (hlm. 67)
  7. Masaka ibu takkan kau temukan di restoran terbaik. Kelakar ayah takkan kau jumpai di panggung paling gemerlap. Untungnya kau punya dua tempat itu sekaligus; rumah. Pulanglah. (hlm. 98)
  8. Seorang ayah bisa saja kalah dan menyerah pada dunis. Namun ibumu takkan membiarkan. Wanita paling lembut itu, akan berubah jadi singa yang marah sekaligus bantal paling empuk saat hati ayahmu terbuka. (hlm. 105)
  9. Ada alasan kenapa manusia tak punya ingatan sejak lahir. Agar kau tak melihat ibumu kesakitan. (hlm. 117)
  10. Jodoh itu seperti cermin pokoknya. (hlm. 120)
  11. Selalu cium tangan ayah dan ibumu ketika berangkat dan pulang. Tak peduli berapa usiamu, tak peduli sehebat apa dirimu. (hlm. 126)
  12. Kita pernah lebih perih dari ini. Pasti ada saja rejekinya. (hlm. 163)
  13. Ibu adalah manusia paling hebut di Bumi. (hlm. 169)
  14. Tak ada yang bisa menggetarkan dinding singgasana Sang Maha Pasti selain doa orangtuamu di kala mereka bersujud. (hlm. 176)

Banyak selipan sindiran halus dalam buku ini:

  1. Kulit manis dalam semak, habis menangis malah tertawa lepas. (hlm. 21)
  2. Dunia jahat dan kau kalah? Lihatlah telapak tangamu. Ayah selalu menempa tangan itu agar tak menyerah. Ibu tak henti memapah tangan itu untuk berdoa. Bangkitlah. (hlm. 31)
  3. Yang tak berkah, tak jadi darah. (hlm. 31)
  4. Anak SMA itu sudah besar hitungannya, harus sudah mengerti mana baik dan mana buruk. (hlm. 33)
  5. Jangan asal lecut dan marahi anak orang. Ingat, mereka semua diantar orangtuanya ke sekolah, sama seperti kau saat ini. Ada mimpi orang kecil seperti kita. (hlm. 34)
  6. Pujangga kita rupanya kalau jatuh cinta mati kutu. (hlm. 44)
  7. Panik, sakit, cemas, semua perasaan negative punya rumah yang nyaman yaitu kepala ayah. Saking nyamannya, ayah takkan membiarkan mereka keluar, menghinngapi orang lain di sekitarnya. (hlm. 46)
  8. Saat rancak, cepat betul datang. Saat sakit, seperti penjahat orang dia anggap. Kalau zaman dulu, ini boleh kita ajak berkelahi ada kapak. (hlm. 54)
  9. Rindu bukan untuk diucapkan, melainkan dirasakan dalam hati, dilaksanakan dengan kaki. (hlm. 57)
  10. Api paling panas menyala saat ibumu menangis kecewa. (hlm. 74)
  11. Kalau sudah mulai punya uang, pakailah dompet. Seperti induak-induak di pasar saja, uang masuk saku, masuk singlet, diikat pakai karet sayur. (hlm. 81)
  12. Kemiskinan membuat bermimpi pun harus tahu diri. (hlm. 85)
  13. Penjahat bagi sebagian orang, belum tentu bagi sebagian yang lain. Sejarah dicatat oleh yang menang. (hlm. 95)
  14. Mana ada menangis-menangis? Anak laki-laki tidak menangis. (hlm. 109)
  15. Orang miskin kadang hanya punya modal berupa semangat. Modal itu pun sering kena cemooh oleh orang kaya. (hlm. 110)
  16. Hidupmu susah. Hidupku susah. Kita tak ada pilihan. (hlm. 116)
  17. Ada alasan kenapa manusia tak punya ingatan sejak lahir. Agar kau tak melihat ibumu kesakitan. (hlm. 117)
  18. Bisa memasak belum tentu hebat memasak. Sekadar bisa saja. (hlm. 118)
  19. Jangan cepat-cepat menikah. Kerja dulu, dapat uang, menikah tidak mudah. (hlm. 120)
  20. Hubungan berjalan saat keduanya juga saling berjuang. Titik. Tak ada tapi-tapi, tak ada syarat lain. (hlm. 132)
  21. Menanya kabar kekasih, kau bisa tiap jam. Menanya kabar orangtua, sekali sehari saja masa tak bisa? (hlm. 145)
  22. Kehidupan yang menghujam di hari ini, adalah bekal masa depan. (hlm. 151)
  23. Tangis paling menakutkan adalah tangis diam-diam seorang ayah. (hlm. 157)
  24. Jika kau siap anakmu membandingkanmu dengan orangtua lain, maka silakan bandingkan mereka dengan anak lain. Jika tak siap, maka tak usah. (hlm. 165)
  25. Tiga hal ini adalah sekolah sepanjang masa: jadi orangtua, jadi pasangan, dan jadi anak. Nilaimu tak lantas buruk saat hidup orang lebih baik. (hlm. 170)
  26. Sepayah-payahnya hidupku, tak pernah berutang pada orang. (hlm. 187)

Keterangan:

Judul                                     : Dompet Ayah Sepatu Ibu

Penulis                                 : J.S. Khairen

Editor                                    : Trian Lesmana

Penyelia naskah                               : Yayi Dewintya

Desain sampul                   : Clara Ajeng

Desain isi                             : Hani Fauziyah

Penerbit                              : Grasindo

Terbit                                    : Agustus 2023 (Cetakan Kedua)

Tebal                                     : 200 hlm.

ISBN                                      : 978-602-05-3022-2

Leave a comment