buku, resensi

REVIEW Athirah

athirah
Kau tak akan pernah kehilangan ibumu. Energinya akan ada besertamu sepanjang hidup. (hlm. 1)

Kau mungkin telah kehilangan ibumu. Dan, kau merasa ia telah benar-benar pergi. Kau tahu ia berada di suatu tempat yang kau yakini sebagai pelabuhan paling abadi. Kau mendoakannya setiap waktu, menaburkan kembang dengan jemari yang menyimpan rindu, lalu meninggalkan pemakaman dengan hati kehilangan. Lalu, kau menciptakan jarak, atau lebih tepatnya secara alamiah kau diarahkan untuk membuat jarak. Dan, ibumu tinggal menjadi kenangan.

Ibuku tak pernah pergi. Ia berjalan bersamaku. Ia hilang timbul mengikuti pikiranku yang habis tersedot dunia. Tapi seperti yang kukatakan, ia selalu bisa menarikku kembali ketika dunia terlalu hiruk pikuk untukku. Aku, bocah yang selalu diasuhnya. Masih, hingga kini. (hlm. 1-2)

Baru halaman pertama saja, saat membaca buku ini rasanya merinding. Nyessss…. Kalimat di atas langsung mengingatkan saya akan almarhumah mama. Bagi setiap anak, bagaimana pun ibu mereka, tetap segalanya. Tak terganti bahkan sosok yang sempurna sekalipun tak akan bisa menggantikan posisi ibu di hati seorang anak.

Hati laki-lakiku belajar tentang rasa sakit yang diperbuat kaum adam kepada hawa. Ketika kesetiaan tak berbuah kesetiaan. (hlm. 65)

Emma adalah perjalanan keberanian. Dalam dirinya yang lembut dan sangat halus, ia seseorang yang kokoh. Aku bersamanya ketika ia terus-menerus melahirkan anak, takdir perempuan yang hidup dalam alam tiada KB. Aku bersamanya ketika kami berlayar selama ratusan hari untuk menginjak Tanah Suci ketika tubuhku belum lagi setinggi panggulnya. Jusuf adalah laki-laki yang dibesarkan dalam alam poligami. Hidupnya didampingi seorang ibu yang menapaki hari dengan batin terluka. Tapi Emma adalah perempuan indah yang perkasa. Setelah badai yang luar biasa, ia muncul lagi di tengah gelombang dan membalikkan keadaan. Kisah Emma adalah ajaran keberanian sepanjang masa. (hlm.5-6)

Perdebatan mengenai poligami selalu tidak terlepas dari konsep dan pemikiran ideologis yang mendasari pemikiran mereka yang menerima maupun menolak poligami. Oleh karena itu, pada dekade 2000-an, ketika konsep perkawinan itu sendiri sudah disoroti melalui perspektif perempuan, perdebatan itu tidak bakal terlepas dari perspektif ideologis yang lebih luas. Jika demikian, sudah seharusnyalah kalau kita juga melihat perspektif ideologis yang menyangkut kondisi dan kehidupan perempuan secara umum. Mengapa demikian? Sebab, membicarakan perempuan tidak akan lepas dari wacana yang melingkupi konsep-konsep mengenai perempuan itu sendiri.

Pengalaman terberat seorang anak dalam kasus poligami, ketika harus menyaksikan salah satu dari orangtua menahan pedih atau peristiwa menekan itu.(hlm. 39)

“Perempuan itu jahat! Tega betul dia merebut Bapak. Aku benci!”

“Mengapa Emma tidak melawan? Apa salah dia, dan apa salah kita. MengapaBapak mau lari kepada perempuan itu?” (hlm. 71)

“Mengapa kita harus berpura-pura tak sedih? Mengapa kita tak berjuang saja merebut Bapak?” (hlm. 73)

Athirah, Jusuf memanggilnya Emma. Merupakan sosok yang luar biasa. Dengan hati sekuat baja. Ketika kehidupan keluarganya diterjak ombang bernama poligami, Emma menyelamatkan keluarganya. Hal itu tidak menjadikannya makin terpuruk. Emma justru semakin kuat untuk mengasuh anak-anaknya dengan sekuat tenaga, jiwa, dan pikiran yang dimilikinya. Jusuf mengayuh dua perasaan utama dalam hidupnya. Menjaga hati Emma dan merebut hati Mufidah. Kesedihan setelah Bapak menikah lagi sempat memangkas banyak perasaan indah dikeluarganya.

“Kita memiliki pola juang yang hampir sama di awal pernikahan. Kau, istrimu, berjuang bersama. Mirip seperti Bapak dan Emma yang juga berjuang bersama, walau kondisi di zaman kami dan zamanmu kini tentu berbeda. Dan Bapak harap kau memiliki lanjutan kehidupan yang tidak sama dengan Bapak. Jaga Mufidah dengan sepenuh hatimu.(356)

Poligami tidak akan pernah habis dibahas. Poligami selalu menyisakan luka. Begitu juga dengan kisah Emma ini. Tapi penulisnya, Alberthiene Endah mampu memolesnya dengan manis.

Yup, poligami selalu menimbulkan pro kontra. Selalu menarik untuk dibahas. Bahkan saat skripsi pun saya mengambil objek penelitian tentang poligami. Saking berburu buku-buku poligami untuk referensi skripsi, malah dikira mau poligami… x)

Banyak sekali kalimat favorit dalam buku ini:

  1. Kau telah mati jika tak lagi memberimu alasan untuk bersabar. (hlm. 4)
  2. Inilah susahnya menghadapi kaum hawa. Kau tak akan mendapat jawaban ketika kau membutuhkan jawaban. Dan, kau diajak berputar dalam perjalanan rumit ketika kau bahkan tak melihat sesuatu yang rumit. (hlm. 13)
  3. Yang menyakitkan adalah bagaimana menempa perasaan kami untuk tahan dari sorotan orang lain. (hlm. 26)
  4. “Hanya gadis yang punya pendirian kuatlah yang layak kau buru. Gadis yang bahkan tak peduli kau siapa dan bagaimana keluargamu…” (hlm. 175)
  5. “Seorang ksatria tak boleh hanya mengandalkan informasi orang lain. Kau berjuanglah mencari tahu di mana rumahnya. Kalau kau benar kepincut kepadanya, jangan tunggu matahari tenggelam untuk berkenalan dengannya. (hlm. 179)
  6. Laki-laki memang tak sepenuhnya bisa diyakini. Cinta yang sangat kuat dengan fondasi yang kukuh di awal tak menjamin munculnya kesetiaan yang abadi. Setiap perempuan boleh angkuh memutuskan kepada siapa cinta dan kepercayaan hendak diberikan. (hlm. 219)
  7. Jika perempuan tak cinta, sebesar apa pun usaha laki-laki, sulit untuk mendapatkan hatinya. (hlm. 297)
  8. Satu-satunya yang tak bisa dikubur dengan baik adalah cinta. (hlm. 203)

Dari buku biografi ini kita bisa banyak mengambil hikmah. Dibalik rasa duka pasti kelak ada rasa sukacita. Dibalik tangis kelak ada rasa bahagia. Semua pasti ada jalannya. Kuncinya; sabar, sabar, dan sabar. Jadi penasaran dengan versi filmnya nanti.

Emma, kau telah berhasil memberi kami pengajaran paling penting dalam hidup. Bagaimana batin bisa terjaga ikhlas dan penuh syukur saat melintasi berbagai peristiwa. Dan bagaimana menciptakan damai di atas kondisi yang tak adil sekalipun. Hidupmu adalah cahaya yang tak pernah mati. (hlm. 379)

Keterangan Buku:

Judul                            : Athirah

Penulis                          : Alberthiene Endah

Penggagas                    : M. Deden Ridwan

Penyelarasa aksara       : Nunung Wiyati, A.B. Khoir, Lani Rachma

Penerbit                        : Noura Books

Terbit                           : Desember 2013

Tebal                            : 404 hlm.

ISBN                           : 978-602-7816-67-1

Indonesian Romance Reading Challenge 2014 https://luckty.wordpress.com/2014/01/01/indonesian-romance-reading-challenge-2014/

 

2014 TBBR Pile – A Reading Challenge

https://luckty.wordpress.com/2014/01/02/2014-tbbr-pile-a-reading-challenge/

33 thoughts on “REVIEW Athirah”

  1. Aku sangat ingin membaca buku ini. Lihat bocoran kalimat-kalimat yg dikutip menunjukkan sisi puitis buku ini. Selain itu, aku juga setuju tentang kalimat-kalimat indah tentang ibu itu. Menyentuh, apalagi aku juga seorang yang sudah kehilangan ibuku. Dalam rangka rilisnya di momen hari ibu kemarin, aku ikut lomba quote tentang ibu dari Penerbit Noura. Alhamdulillah, salah satu kalimat kreasiku membuatku memenangkan hadiahnya. Senangnyaa ^_^

  2. Segala sesuatu cerita tentang ibu menurut saya sangat brilliant dan menyentuh hati
    apalagi ini menyangkut poligami.. wah rasanya pelik sekali
    mungkin saya akan membacanya nanti ketika ada waktu luang

  3. kenal tulisan mbak Ae, dari buku2 biografi artis-artis. tapi kenapa kalau buku novel Athirah ini kok merasa seperti bentuk kampanyae JK untuk pilpres ya 😀 *getok2 pikiran jelek*

    1. waktu liat covernya yang kuning, aku juga mikir gitu awalnya. Tapi pas baca bukunya, malah jauh dari kesan itu. Ini lebih banyak membahas kisah ibundanya Pak JK :))

  4. Aq uda baca jugaaaaa… Bacanya pas jam istirahat dikantor, jadinya kalau ada yg bikin trenyuh langsung deh berkaca-kaca. Pada bingung d orang kantor, hihihi… Baguuuus ceritanya. Selalu pengen nangis kalau ada buku yang bercerita tentang orang tua kita.. :’)
    Penasaran sama versi filmnya ^_^

  5. Kau mungkin telah kehilangan ibumu. Dan, kau merasa ia telah benar-benar pergi. Kau tahu ia berada di suatu tempat yang kau yakini sebagai pelabuhan paling abadi. Kau mendoakannya setiap waktu, menaburkan kembang dengan jemari yang menyimpan rindu, lalu meninggalkan pemakaman dengan hati kehilangan. Lalu, kau menciptakan jarak, atau lebih tepatnya secara alamiah kau diarahkan untuk membuat jarak. Dan, ibumu tinggal menjadi kenangan.

    Ibuku tak pernah pergi. Ia berjalan bersamaku. Ia hilang timbul mengikuti pikiranku yang habis tersedot dunia. Tapi seperti yang kukatakan, ia selalu bisa menarikku kembali ketika dunia terlalu hiruk pikuk untukku. Aku, bocah yang selalu diasuhnya. Masih, hingga kini.

    baru baca quote yang ini, bawaannya pengen mewek aja. kayaknya bukunya bagus, dilihat dari sisi manapun pengen baca secara utuh >.<

  6. Mama, Ibu, Ummi adalah sosok malaikat yang menjaga kita secara nyata di dunia. Tak habis rasa terima kasih yang tak terhingga untuk wanita yang sudah mengandung, melahirkan, serta membesarkan kita dengan penuh cinta. Semoga almh.Ibunda Mbak Luckty diberi tempat tempat terbaik di sisi Allah. Love you mama ❤

Leave a reply to Fenita Penot Cancel reply