ayat-ayat cinta

Pembuktian Sebuah Dongeng Cinta

”Ayat-ayat Cinta” adalah fenomena terbaru industri perfilman Indonesia. Dalam minggu pertama pemutarannya di bioskop, film garapan sutradara Hanung Bramantyo tersebut mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat.

Menurut Manoj Punjabi, produser Ayat-ayat Cinta, gedung-gedung bioskop yang memutar film itu serentak sejak 28 Februari selalu terisi di atas 95 persen kapasitas tempat duduk. Bahkan di beberapa tempat sampai melebihi kapasitas tempat duduk yang tersedia. ”Di bioskop Regent, Bandung, orang sampai rela membayar untuk duduk di bangku ekstra. Kapasitas gedungnya hanya 96 kursi, penontonnya 101 orang,” papar Manoj.

Sebagian besar gedung bioskop di Jabodetabek, Pekanbaru, dan Medan menyediakan dua layar untuk memutar film itu. Di Semarang dan Makassar, pihak bioskop membuka jam pemutaran ekstra untuk mengantisipasi membeludaknya penonton. Di Jakarta, film tersebut diputar di kelas Premiere (kelas tertinggi dengan harga tiket Rp 100.000 per lembar) di dua lokasi bergengsi di pusat kota, yakni Plaza Senayan dan Senayan City.

Bukti kesuksesan

Untuk pertama kalinya, MD Pictures yang dipimpin Manoj menggandakan pita film ini hingga 100 copy. Sebuah angka yang fenomenal untuk ukuran film nasional. ”Rata-rata film Indonesia paling hanya dicetak 10-20 copy. Bahkan film-film utama Hollywood pun paling banyak dicetak 65-70 copy,” ungkap Manoj.

Saat Kompas menonton film ini di Pondok Indah XXI hari Rabu (27/2), penonton memenuhi sekitar 90 persen jumlah tempat duduk, bahkan hingga deretan kursi di bagian depan, pada jadwal pemutaran yang ”tidak populer”, yakni pukul 15.40-18.20.

Sebagian besar penonton adalah perempuan, yang di antaranya terdapat beberapa rombongan ibu-ibu berjilbab. Di akhir film, tak sedikit penonton yang bertepuk tangan, atau mengusap matanya yang masih sembab usai menangis. ”Saya tadi tak bisa menahan tangis,” ucap Heny (19), salah satu penonton dari Cinere.

Bagi Hanung Bramantyo, itulah salah satu bukti kesuksesan tersendiri Ayat-ayat Cinta. ”Film ini berhasil mendatangkan penonton dari luar kalangan penonton film ke bioskop, seperti ibu-ibu pengajian, kini datang berbondong-bondong nonton film ini,” ujar Hanung, yang butuh 1,5 tahun untuk menyelesaikan film ini.

Dongeng klasik

Apa yang membuat Ayat-ayat Cinta begitu fenomenal? Dari segi ceritanya, film yang diangkat dari novel laris berjudul sama karya Habiburrahman El Shirazy (hingga akhir 2007 telah dicetak ulang 30 kali dan terjual sekitar 300.000 eksemplar) tidak terlalu istimewa. ”Isinya dongeng cinta klasik. Seorang lelaki yang dicintai empat wanita dan ia harus menentukan pilihan,” ungkap Hanung.

Lelaki itu adalah Fahri bin Abdillah (diperankan Fedi Nuril), seorang mahasiswa S-2 asal Indonesia di Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir. Ia anak seorang penjual tapai yang polos, sederhana, dan sangat taat beragama. Jatuh cinta adalah sesuatu yang belum pernah terjadi dalam hidupnya dan pacaran adalah sesuatu yang dilarang menurut keyakinan agamanya.

Pada saat hampir bersamaan, empat wanita justru jatuh cinta kepada Fahri. Mereka adalah Nurul (Melanie Putria), mahasiswi dari Indonesia yang menjadi teman dekat Fahri di kampus. Kemudian ada Maria Girgis (Carrisa Puteri), gadis Mesir tetangga seapartemen dan sahabat dekat Fahri, beragama Kristen Koptik, tetapi mempelajari dan mengagumi isi Al Quran.

Sosok ketiga adalah Noura (Zaskia Adya Mecca), seorang perempuan Mesir yang terpisah dari orangtuanya dan jatuh ke tangan seorang penjahat dan suatu hari ditolong Fahri. Terakhir adalah tokoh Aisha (Rianti Cartwright), perempuan berdarah Jerman-Turki yang terkesan saat bertemu Fahri pertama kali di sebuah kereta api.

Dongeng cinta tersebut kemudian memiliki bobot berbeda karena ditempatkan dalam konteks agama Islam yang dijalani Fahri dengan sangat taat. Terjadi konflik batin rumit saat Maria menderita koma karena menanggung patah hati yang amat sangat setelah mengetahui Fahri memilih orang lain untuk diperistri. Maria hanya bisa sembuh kalau disentuh Fahri, sementara Fahri dilarang agamanya untuk menyentuh wanita yang bukan muhrimnya.

Tantangan berat

Interpretasi dongeng ini ke bentuk visual dan setting cerita di Mesir menjadi tantangan berat bagi setiap sutradara yang menggarap film ini. ”Dari awal saya sudah memutuskan untuk membuat film ini sesuai novelnya, jadi shooting pun harus dilakukan di Mesir,” ungkap Manoj, yang memutuskan memfilmkan novel itu pada akhir 2005.

Hambatan dan rintangan pun sudah terjadi sejak tahap sangat awal. ”Saat survei lokasi di Mesir, saya baru sadar bahwa kondisi di lapangan tak seindah gambaran di novel. Yang namanya Piramida Giza itu masih kalah bersih sama Candi Borobudur,” tutur Hanung.

Shooting pun batal dilakukan di Mesir karena biaya yang ditetapkan rumah produksi lokal terlalu besar (mencapai Rp 15 miliar). Pengambilan gambar adegan luar ruang akhirnya dikerjakan di India, sementara untuk adegan dalam ruang sebagian besar dibuat di kawasan kota tua Semarang yang memiliki banyak bangunan kuno menyerupai salah satu sudut kota Cairo. ”Saya bersama para pemain dan kru lainnya harus naik bus 30 jam dari Bombay ke lokasi shooting di Jodhpur, India. Peralatan dan kru shooting yang disediakan di sana pun tak sesuai harapan,” kenang Hanung dalam blog pribadinya.

Hasilnya, Hanung berhasil menampilkan gambar-gambar indah luar ruang (beberapa di antaranya dibantu proses komputer grafis untuk ”menempelkan” gambar piramida Mesir pada gambar-gambar yang diambil di India). Akan tetapi, porsinya terasa sangat kecil dibanding adegan dalam ruang, yang sangat panjang dan kadang menjadi membosankan.

Beberapa adegan tidak perlu— yang masih memperlihatkan karakter buruk film Indonesia—juga masih ditemukan, seperti adegan suster menutupkan selimut di atas jenazah salah satu tokoh yang di akhir cerita meninggal dunia. Untuk memunculkan rasa haru, momen kematian seharusnya tak perlu ditampilkan dengan adegan yang justru sangat mengganggu tersebut.

Namun, di luar kelemahan-kelemahan itu, Ayat-ayat Cinta membuktikan dengan gemilang, bahwa orang Indonesia ternyata bukan sekadar sekumpulan orang yang hanya bisa menggemari film horor dan roman cinta ABG.

DAHONO FITRIANTO

sumber:

http://www.kompas.com

Leave a comment