resensi

REVIEW Ginko

Cermin dan bola kaca

Tanpa dipoles, tidaklah berharga

Begitu pula dengan pikiran kita. (hlm. 126)

“Perempuan berbeda dengan laki-laki. Tidak peduli bagaimanapun situasinya, kau harus selalu melindungi diri sendiri. Seorang perempuan yang tidak dapat melindungi dirinya tidak akan diperlakukan sebagai manusia.” (hlm. 115)

Masyarakata desa hidup amat bosan sehingga sangat mendambakan beredarnya gosip baru. Tak peduli tentang pengantin baru atau pemakaman. Adalah Gin yang pulang ke rumah orantuanya sendirian. Bagi perempuan yang sudah menikah, jaman itu merupakan sebuah aib. Gin terpaksa harus mengakui bahwa dirinya ringkih. Selama menikah dia tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dan menantu perempuan karena sakit. Namun, bukan penyakitnya yang menjadi awal dari keadaan itu. Suaminyalah yang telah memberikan penyakit itu kepadanya. Gin adalah korban.

Tak satu kali pun Gin ditanyai. Gin pun melakukan apa yang diperintahkan dan seluruh prosesnya dijalankan sesuai adat istiadat yang berlaku. Gin tidak pernah merasa ragu akan pernikahannya. Karena usianya baru enam belas tahun, pikirannya masih dipenuhi harapan-harapan seorang gadis kecil. Sekarang, Gin merasakan imbasnya. Penyakit itu telah membuat Gin tampak seperti orang cacat, kecil dan jauh lebih tua ketimbang usia sebenarnya.

Aku tak mau lagi berhubungan dengan lelaki! Aku takkan menyesal bila aku tak pernah bisa menikah lagi. Hidup sendiri adalah kebebasan tertinggi di dunia. (hlm. 19)

 

“…menyalakan tungku, membersihkan rumah, menanak nasi….sama sekali tak ada waktu untuk membaca.” (hlm. 21)

 

‘Maksudmu kau ingin mengatakan kepadaku bahwa selama ini kau masih membaca buku?  Di mana-mana tak ada istri petani yang membaca buku! Memangnya apa yang ada di kepalamu?” (hlm. 21)

Orang-orang akan bergunjing bahwa keluarga Ogino punya perempuan gila di keluarganya yang tidak melakukan apa-apa selain membaca buku. (hlm. 83)

Karena tidak enak hati keluarganya menjadi pergunjingan masyarakat, Gin pergi meninggalkan rumah. Kekosongan di hatinya yang telah tercipta oleh penyakit ini sudah lama terisi oleh keinginannya menjadi dokter. Ya, dia ingin sekolah yang tinggi dan berusaha keras untuk menjadi seorang dokter.

“Pasti banyak sekali perempuan yang memiliki penyakit seperti aku. Jumlah itu bukan berarti semuanya diperiksa oleh dokter. Siapa yang tahu ada berapa banyak di antara mereka yang tidak mendapatkan pengobatan  karena terlalu malu untuk diperiksa? Aku ingin melakukan sesuatu untuk mereka. Segala sesuatu yang berjalan sekarang rasanya tidak pas. Maksudku, bukan perempuan yang, seharusnya dipersalahkan, tapi merekalah yang paling menderita.”

Dia pun memutuskan untuk mengganti namanya menjadi Ginko sebagai bentuk perlawanan hidup bahwa perempuan memiliki harga diri yang sebanding dengan laki-laki. Memiliki arti hidup. Nama bukan hanya sekedar nama, tapi memiliki maksud dan tujuan.

“Kau tidak hidup sendiri dan masih ada banyak hal yang harus kau pertimbangkan di atas hasrat-hasrat pribadimu. Kau harus memikirkan keluargamu dan semua orang yang memiliki hubungan dengan kita. Mungkin memang tidak ada hukum yang melarangmu melakukan apa pun yang kausuka, tapi ada adat istiadat.” (hlm. 82)

Banyak sekali rintangan dan hambatan yang dialami Ginko demi meraih cita-citanya menjadi dokter. Diremehkan orang. Harus hidup apa adanya. Ada juga kisah cinta yang musti dilaluinya.

Tapi, kalau aku ingin memiliki kehidupan dan cinta seperti yang diinginkan orang lain, aku tidak akan mampu mencapai apa yang tidak dapat dicapai orang lain. Yang coba kulakukan ini begitu berbeda dengan hal-hal yang lazim diinginkan perempuan pada umumnya, seperti langit dan bumi. Jadi beginilah cara yang seharusnya. (hlm. 173)

Bertebaran kata BUKU-BUKU.. (‾▽‾)♥(‾⌣‾)

  1. Sekarang di rumah, Gin menghabiskan seluruh waktunya ketika bangun dengan membaca. Banyak sekali buku yang bisa dia baca dari perpustakaan keluarganya. (hlm. 23)
  2. Di tengah ruangan yang penuh dengan buku dan kertas itu, ada meja besar yang terbuat dari kayu pohon cemara dengan satu bantal duduk di depannya. (hlm. 93)
  3. Ada buku dimana-mana, disusun menjadi tumpukan-tumpukan yang berkelok-kelok sampai separuh dinding. (hlm. 93)
  4. “Pertama dan yang terpenting, kau harus membaca. Buku-buku memuat banyak pelajaran bagi kita. Dan, buku juga memberi tahu kita tentang hal-hal yang belum dimengerti orang-orang pada zaman dulu. (hlmn, 96)

Ketika Ginko terbangun pada malam hari, dia akan mengambil buku yang dia tinggalkan di sebelah bantalnya dan menuju kamar mandi. Suasana malam benar-benar tenang dan ada lampu menyala di tengah ruangan. Memang agak berbau tak sedap, tetapi Ginko tetap akan berdiri di bawah lampu sambil membaca bukunya dan menunggu kantuk kembali datang. (hlm. 131)

Adegan dalam kalimat di atas mengingatkan saya saat diklat tahun lalu. Saya terbiasa tidur tengah malam. Dan kebetulan teman-teman sekamar tipenya tidur cepat semua. Terpaksalah saya menahan diri untuk membaca tengah malam tanpa menimbukan suara yang membangunkan mereka. Dikiranya saya kerajinan belajar materi diklat, padahal baca novel sih.. ˇ)-c 

Kalimat favorit:

  1. “Setelah kau membuat keputusan untuk melakukan sesuatu, tidak ada yang bisa menghentikanmu.” (hlm. 221)
  2. “Seorang suami yang buruk akan membawa kesengsaraan seumur hidup bagi istri.” (hlm. 272)
  3. “Dokter adalah orang yang beruntung. Orang-orang berterima kasih kepada mereka dan membayar mereka juga. Tidak mungkin ada pekerjaan yang lebih baik dari itu.” (hlm. 285)
  4. Kehidupan manusia diselamatkan oleh kekuatan fisik mereka sendiri dan lingkungan tempat mereka tinggal. (hlm. 286)
  5. “Perempuan yang pandai menjaga perasaan adalah perempuan yang sopan. Dan itu tak ada hubungannya dengan nama atau tingkat sosial. (hlm. 443)
  6. “Perempuan terhormat adalah perempuan yang memiliki kecantikan di dalam hatinya. Dan, itu tak ada hubungannya dengan perempuan yang mengenakan pakaian indah.” (hlm. 443)

Ada banyak sekali hikmah yang kita ambil dari sosok Ginko ini. Bagaimana dia harus berjuang saat mengalami keterpurukan ketika divonis mengidap penyakit, berjuang mewujudkan cita-citanya, berjuang memahami keadaan keluarga dan masyarakat yang memojokkannya, berjuang meyakinkan pasien bahwa sebagai seorang perempuan dia memiliki kemampuan yang sama dengan dokter laki-laki, bahkan berjuang untuk cintanya.

Keterangan Buku:

Judul                            : Ginko

Penulis                          : Jun’ichi Watanabi

Penerjemah                  : Istiani Prajoko

Penyunting                    : Dian Pranasari

Pemeriksa aksara         : M. Sidik Nugroho

Pewajah isi                   : Eri Ambardi

Penerbit                        : Serambi

Terbit                           : November 2012

Tebal                            : 462 hlm.

ISBN                           : 978-979-024-395-8

Cover asli:

Cover versi lain:

7 thoughts on “REVIEW Ginko”

  1. Thanks uda mereview buku ini. Aku penasaran bgt tapi ilfil sama covernyaaa T.T
    Itu cover Indonesia pake gambar Horikita Maki sih..

  2. Bisa dibilang ini adalah buku Habis Gelap Terbitlah Terang nya orang Jepang. Hihi… Mungkin dari segi ‘kesetaraan perempuan dan laki-laki’ yang bikin mirip sama emansipasi wanita yang digebrak Ibu Kartini.

    Yang bikin penasaran adalah, penyakit apa yang diidap oleh Gin, apakah kanker serviks, HIV, AIDS, atau kemandulan, soalnya ada kata ‘berhubungan dengan lelaki’ gitu. Hmm…

    Semangat Gin ini memang patut dicontoh banget. ”Bagaimana dia harus berjuang saat mengalami keterpurukan ketika divonis mengidap penyakit, berjuang mewujudkan cita-citanya, berjuang memahami keadaan keluarga dan masyarakat yang memojokkannya, berjuang meyakinkan pasien bahwa sebagai seorang perempuan dia memiliki kemampuan yang sama dengan dokter laki-laki, bahkan berjuang untuk cintanya.”

    Kesukaannya terhadap buku juga bikin aku mupeng banget pengen baca buku ini, keselarasaan perasaan mungkin ya. Heheh…

    Quotes yang aku suka ada di no. 5 dan no. 6

    “Perempuan yang pandai menjaga perasaan adalah perempuan yang sopan. Dan itu tak ada hubungannya dengan nama atau tingkat sosial. (hlm. 443)
    Wiihh, rasanya sesuatu gitu ya, kalau udah sopan orang pasti nggak bakal lihat dari status sosial itu. Benar-benar keren (y)

    ”Perempuan terhormat adalah perempuan yang memiliki kecantikan di dalam hatinya. Dan, itu tak ada hubungannya dengan perempuan yang mengenakan pakaian indah.” (hlm. 443)

    Setuju banget, bagaimanapun indahnya baju, pakaian, atau bahkan gaun yang dipakai, jika hatinya memang *begitu* ya tentu aja, kesannya jadi beda sama gaunnya yang kelihatan cantik.

    Yang paling aku nggak suka, kenapa sih paradigma tiap orang terhadap hal-hal yang tabu sering aneh, meremehkan bahkan menyepelekan hal yang akhirnya jadi luar iasa. Hahh 😡

    Intinya, buku ini emang cocok jadi International Bestseller, cocok juga masuk jadi wishlist aku 😉 Cyyaaooo :O

    @asysyifaahs

Leave a reply to luckty Cancel reply