buku, resensi

REVIEW Turtles All the Way Down

“Kau mengingat cinta pertamamu karena mereka menunjukkanmu, membuktikan padamu, bahwa kau bisa mencintai dan dicintai, bahwa hanya cintalah yang pantas untuk diterima di dunia ini, bahwa cinta adalah bagaimana kau menjadi seseorang, sekaligus alasannya.” (hlm. 337)

Pas tahu John Green ada buku terbarunya, buku ini langsung masuk wish list. Ya, tanpa disadari, selain Paulo Coelho dan Jostein Gaarder, penulis luar yang bukunya wajib dikoleksi (dan juga dibaca) adalah buku-bukunya John Green. Tema yang diangkat sebenarnya sehari-hari tanpa kita sadari. Dan fokus ke remaja. Seperti buku-buku sebelumnya, para tokoh utama buku ini juga remaja. Adalah Aza yang sebenarnya pendiam dan cenderung rendah diri (ciri khas tokoh utama John Green) bersahabat dengan Daisy yang sifatnya sangat berkebalikan dengannya. Sebenarnya saya lebih menyukai tokoh Daisy, anaknya rada nekat dan optimis dalam menghadapi hidup.

“Kau tahu apa yang membuat dirimu menjadi sahabat sejati, Holmesy? Seperti, aku berharap bisa menjadi jenis orang yang membagi hartaku denganmu kalau menang lotere, tapi jujur saja, aku tidak memercayai diriku sendiri.” (hlm. 149)

Tapi John Green memang selalu menyelipkan pesan moral lewat tokoh utamanya memang yang cenderung tak sempurna. Kali ini lewat tokoh Aza, kita jadi mengetahui perasaan seorang remaja yang mengidap OCD (Obsessive Compulsive Disorder). Setiap hari Aza selalu mengenakan semacam plaster/perban di jarinya. Ada alasan tertentu kenapa dia selalu menggunakan itu, bukan untuk gaya-gayaan, tapi dia memang memerlukannya setiap hari.

“Ini sudah terinfeksi. Dan semuanya gara-gara aku. Seperti yang selalu kulakukan. Merobek kapalannya dan sekarang sudah terinfeksi. Aku adalah ikan, yang terinfeksi oleh parasit dan berenang menuju permukaan, berusaha membuat diriku dilahap.” (hlm. 157)

“Aku tidak bisa menemukan bagian terdalam diriku yang murni atau tak ternoda atau apalah – bagian di mana jiwaku semestinya berada. Yang artinya, barangkali aku tidak lebih memiliki jiwa daripada bakteri-bakteri itu sendiri.” (hlm. 106)

Selain permasalahan Aza dengan jiwanya, lewat buku ini kita juga diajak menelusuri kehidupan dari seorang anak miliarder yang kini berstatus buronan. Ya, Davis dan adiknya menjadi incaran banyak orang yang ingin mendekatinya dengan alasan agar bisa menemukan ayah mereka yang berhadiah senilai seratus ribu dollar. Tak terkecuali Aza dan Daisy. Bukan tanpa sebab. Daisy begitu meyakinkan Aza untuk mendekati Davis karena dulu mereka pernah akrab saat kecil. Tapi di sisi lain justru Aza merasa bersalah karena merasa semua yang mereka lakukan adalah tak jauh berbeda dengan orang lain yang mengincar hadiah yang sangat besar tersebut. Membaca kisah Davis yang ditinggal ayahnya karena menjadi buronan sementara ibunya sudah lama meninggal, menjadi bertambah berat beban yang dipikulnya karena juga harus mengurus dan bertanggung jawab atas kelangsungan hidup adiknya, Noah. Epiknya, jika ayah mereka tertangkap, harta warisan tidak jatuh ke tangan mereka, tapi ke hal yang tanpa diduga-duga. Begitulah orang kaya, semakin banyak harta, bukannya semakin bijak seringkali justru malah sering keblinger x))

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:

  1. Semua orang bisa memandangmu. Tapi, lumayan jarang menemukan seseorang yang melihat dunia yang sama seperti yang kau lihat. (hlm. 14)
  2. Kau bisa menjalani hidup dengan baik tanpa pernah mengetahui cinta yang sesungguhnya. (hlm. 19)
  3. Cinta yang ramah dan sabar, yang tidak diwarnai perasaan iri atau sombong, yang melahirkan segala sesuatu dan mengimani segala sesuatu dan mampu mengarungi segala sesuatu. (hlm. 19)
  4. Barangkali kau adalah sesuatu yang tidak bisa tidak menjadi dirimu. (hlm. 98)
  5. Pikirkan tentang pelangi. Itu satu lengkungan cahaya, tetapi juga tujuh lengkungan cahaya berwarna. (hlm. 106)
  6. Tidak apa-apa untuk merasa takut. (hlm. 135)
  7. Yang terbaik nyaris tidak memiliki rasa yakin, sementara yang terburuk sarat akan semangat. (hlm. 173)
  8. Pikiran hanyalah pikiran. Mereka bukanlah kau. Dirimu tetap milikmu, bahkan ketika pikiran-pikiranmu tidak. (hlm. 198)
  9. Dunia ini bulat. Semakin kau berlayar, semakin kau dekat dengan rumah. (hlm. 221)
  10. Masa lalu adalah prolog. (hlm. 222)
  11. Ada garis yang jelas di antara imajinasi dan kenangan, tapi sebenarnya tidak. (hlm. 321)
  12. Kau sendirilah yang memilih akhir dari ceritamu, juga awalnya. (hlm. 327)
  13. Cinta bukanlah tragedi, bukanlah kegagalan, melainkan sebuah anugerah. (hlm. 337)

Banyak juga selipan sindiran halusnya:

  1. Tak ada gunanya melawan. (hlm. 11)
  2. Sebagian besar orang sepertinya tidak terlalu menyukai ayah mereka. (hlm. 65)
  3. Kekhawatiran itu cara pandang yang benar terhadap dunia. Hidup memang mengkhawatirkan. (hlm. 66)
  4. Dia yang tidak takut kematian hanya akan meninggal satu kali. (hlm. 71)
  5. Pada suatu titik dalam hidup, kecantikan di dunia ini sudahlah cukup. Kau tidak perlu memotret, melukis, atau bahkan mengingatnya lagi. Itu cukup. (hlm. 72)
  6. Ketika sebuah pengamatan gagal untuk bersanding dengan kebenaran, mana yang akan kau percayai, -pancaindramu, ataukah kebenaran itu sendiri? (hlm. 73)
  7. Senjata paling ampuh untuk melawan stress adalah kemampuan kita untuk memilih satu pikiran dari dari pikiran lainnya. (hlm. 74)
  8. Hidup itu bukan sesuatu yang bisa kau kendalikan, kau tahu? (hlm. 83)
  9. Masa kinimu bukanlah seumur hidupmu. (hlm. 113)
  10. Orang yang rapuh harus siap dimanfaatkan. (hlm. 131)
  11. Sebenarnya akan lebih buruk kalau kita tidak memmpunyai rasa yakin. Karena itu berarti kau hanya akan mengikuti arus saja, kau tahu? Kau hanya sebuah gelembung di dalam air pasang. (hlm. 173)
  12. Barangkali pada titik tertentu, kau akan menyadari bahwa siapa pun yang merawatmu hanyalah seorang manusia, dan bahwa mereka tidak punya kekuatan super dan tidak bisa benar-benar melindungimu dari rasa sakit. (hlm. 176)
  13. Membaca puisi orang sama saja dengan melihat mereka telanjang. (hlm. 181)
  14. Yang dilakukan orang pacaran hanyalah bicara soal status hubungan mereka. Seperti kicir ria. Saat kau berada di kicir ria, yang dikatakan semua orang hanyalah tentang berada di atas kicir ria dan pemandangan dari kicir ria dan apakah kicir ria itu menakutkan dan berapa kali roda itu akan berputar. Pacaran juga begitu. Yang menjalaninya tidak pernah berbicara soal hal lain. (hlm. 193)
  15. Kita mematahkan hati, tapi kita tidak mematahkan janji. (hlm. 235)
  16. Kita masih harus menuai yang terbaik dan terburuk dari masa kecil kita. (hlm. 243)
  17. Tidak ada orang yang bisa memahami orang lain, tidak terlalu. Kita semua terjebak dalam diri kita sendiri. (hlm. 289)
  18. Kegilaan dari sebuah kekayaan. Kadang-kadang, kau mengira dirimulah yang menghabiskan uang, tapi sebenarnya uang itulah yang menghabiskanmu. Itu kalau kalau kau mengagung-agungkannya. Kau melayani apa pun yang kau agung-agungkan. (hlm. 319)

Keterangan Buku:

Judul                                     : Turtles All the Way Down

Penulis                                 : John Green

Penerjemah                       : Prisca Primasari

Penyunting                         : Dyah Agustine

Proofreader                       : Emi Kusmiati

Desain sampul                   : Agung Wulandana

Penerbit                              : Qanita

Terbit                                    : April 2018

Tebal                                     : 344 hlm.

ISBN                                      : 978-602-402-115-3

5 thoughts on “REVIEW Turtles All the Way Down”

  1. Sudah punya ebook-nya di akun google playbook tapi belum dibaca. Saya penasaran penyakit OCD tadi. Jadi harus segera baca ini mah.

  2. Saya baru beli bukunya sebulan yang lalu, tapi sampai sekarang belum selesai karena ada banyak pekerjaan.
    Sejauh ini, kalimat-kalimat favorit yang anda tulis, ada banyak juga yang menjadi favorit saya hehehe

Leave a comment