
Jangan forsir dirimu terlalu banyak, karena kamu manusia biasa yang punya keterbatasan tertentu di beberapa hal. (hlm. 154)
Depresi bukan hal yang sepele. Jika tidak ditangani dengan baik, entah apa yang akan terjadi di kemudian hari. Namun sesungguhnya, kesadaran akan kesehatan mental masa kini jauh lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya.
Di saat kita bisa saja memiliki cita-cita yang ingin dicapai dalam hidup, karena satu dan lain hal, kita mengalami depresi sehingga merasa skeptis dengan masa depan dan merasakan kekosongan luar biasa. Kita tidak semangat menjalani keseharian dan senyum yang kita perlihatkan kepada orang-orang di sekitar kita tidak tulus. Kita dapat menangisi suatu hal dan tidak dapat mengendalikan emosi kita dengan baik. Konsentrasi kita dalam menunaikan pekerjaan atau tugas buyar tanpa dapat disatukan lagi dengan mudah. Rasanya hanya ingin sendirian di kamar, tidak melakukan apa-apa, bahkan tidur sekalipun enggan rasanya. Rasanya hidup seperti hampa dan kita mendadak hilang arah dan tujuan.
Pengidap depresi tidak selamanya bermental lemah. Mungkin tekanan yang datang kepadanya sudah terlalu berat tanpa dapat dia tangani sendiri, bahkan bisa saja dibantu orang lain tetapi masih tetap terlalu besar.
Pernahkah kita merasa dada ini benar-benar sesak dan kita ingin menangis, tetapi tidak bisa? Atau mungkin malah sebaliknya, kita baru saja mengalami peristiwa yang sangat mengguncang tetapi kita sama sekali tidak merasakan apa pun? Sehingga kesannya seperti kita baik-baik saja, hanya merasakan kosong saja. Jika ya, apakah kita menyadari bahwa kita sedang mengalami tekanan mental tanpa kita sadari?
Setiap orang berhak take a moment to be sad and the cry. Tentu saja kita tetap harus kembali ke kehidupan nyata nantinya, tetapi bukan berarti kita tidak boleh menikmati momentum kesedihan. Hal yang perlu dilakukan sebagai seseorang dengan tekanan mental adalah meluapkan emosinya. Menangislah, marahlah. Tetap menjaga diri dan orang lain, tapi jangan semakin menekan emosi. Bersabar adalah hal yang sangat baik, tetapi emosi negatif perlu dilepaskan agar tidak mengendap dalam pikiran dan hati. Endapan emosi negatif tersebut dikhawatirkan akan meledak sewaktu-waktu. Entah apa yang akan terjadi jika kita meledakkan emosi negatif, apalagi di saat mungkin yang kurang tepat.
Jika kita harus menghadapi orang yang sedang mengalami tekanan mental, temani dia. Temani saja tanpa kita harus mengatakan apa-apa. Tunjukkanlah padanya bahwa mereka berhak untuk bersedih, meluapkan emosi, serta menangis. Pinjamkan bahu kita. Dengarkan keluh-kesahnya. Jika dia membutuhkan sara, maka sarankanlah padanya hal-hal yang tidak menahannya dari bersedih. Tunggu dia hingga dapat kembali berdiri tegak dengan kedua kakinya, barulah kita dapat menyemangatinya lagi untuk berdiri.
Apakah olahraga akan efektif meredakan simton depresi? Tentu olahraga belum dapat menyelesaikan akar permasalahan depresi. Tetapi, membuat diri kita sendiri merasa lebih baik, tenang dan rileks juga merupakan usaha untuk menjaga kesehatan mental. Bahkan sebaiknya kita mulai rutin berolahraga tanpa harus mengalami depresi terlebih dahulu. Dalam jiwa yang sehat, terdapat tubuh yang kuat. Dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat. Setahun terakhir ini, tepatnya semenjak pandemi, mencoba bersepeda ke sekolah meski perjalanan yang cukup jauh antara rumah ke sekolah, sekitar satu jam-an, tapi mencoba menikmatinya alias tidak ngoyo. Dan ternyata asyik juga, semenjak bersepeda jadi menyapa banyak tetangga bahkan orang yang tidak dikenal saat melewatinya, hehehe… x))
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
- Depresi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa, tetapi jika ditangani dengan tepat, depresi tidak akan berkembang menjadi gangguan jiwa. (hlm. 6)
- Keluarga yang disfungsional tidak hanya melulu tentang orangtua yang hubungan atau keharmonisannya mulai mendingin. Disfungsional dalam konteks ini juga merujuk pada apakah orangtua ini memiliki mental yang tidak sehat. (hlm. 64)
- Masa depan adalah sebuah misteri. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada kita maupun orang-orang terdekat kita. Jika kita berpikir bahwa segalanya tidak akan berubah, belum tentu. (hlm. 73)
Keterangan Buku:
Judul : Jiwa-jiwa yang Lelah
Penulis : Rahma Kusharjanti
Penyunting : Mus Pratt
Pemeriksa asksara : Erlin
Penata aksara : Z
Perancang sampul : Z
Penerbit : Psikologi Corner
Terbit : Oktober 2020
Tebal : 219 hlm.
ISBN : 978-623-244-250-4
1 thought on “REVIEW Jiwa-jiwa yang Lelah”