Uncategorized

REVIEW Imperfect Parenteen

Hanya kita yang bisa mengukur kebahagaiaan diri sendiri. (hlm. 7)

Waktu lihat cover buku ini sekilas, rasanya langsung tertarik. Meskipun belum menjadi ibu, apalagi memiliki anak-anak, tapi bekerja di sekolah menuju tahun kedua belas tentu rasanya seperti sudah punya banyak anak, hahaha… x)) dan tanpa disadari menemukan banyak sekali karakter remaja yang berbeda. Nah, mungkin dengan membaca buku ini setelahnya bisa menjadi tambahan asupan dalam menghadapi berbagai macam karakter remaja di sekolah x))

Jadi ibu memang rumit. Kadang seorang ibu suka enggak mengerti sama diri sendiri apalagi kalau lagi sentiment. Makanya, seorang ibu harus bahagia dulu. Pasti lebih suka lihat ibu bahagia daripada baper, kan? Kalau dah baper tuh biasanya ngeselin x))

Pikiran anak muda sering kali keren. Namun disadari atau tidak, generasi yang lebih tua bukannya mendukung, mengarahkan, dan mengembangkan. Mereka justru membelenggu dan menciutkan cara berpikir anak muda. (hlm. 90)

Berikut beberapa hal tentang permasalahan yang dihadapi seorang ibu dan juga permasalahan yang berhubungan dengan remaja yang tanpa disadari kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.

  1. Masak. Sama seperti teman penulis yang diceritakan dalam buku ini. Aku juga lemah soal memasak. Tapi bukan berarti tidak peduli dengan urusan makanan. Begitu juga teman penulis yang tetap menyajikan makanan terbaik untuk anak-anaknya meskipun harus beli.
  2. Pengasuhan. Katanya anak yang diasuh oleh orang lain enggak bahagia. Selain itu, pengasuhan ini juga enggak bikin si anak jadi pintar. Maka, sebaiknya tetap ibu yang mengasuh anaknya. Apa iya semua remaja yang bermasalah ibunya bekerja? Tidak juga. Siapa pun bisa mengalaminya. Pendapat ahli parenting bisa beragam. Apakah ahli tersebut salah? Sentu saja tidak. Dia hanya menolak, tapi tidak menghakimi ibu yang bekerja. Jadi seandainya kita tidak sependapat ya enggak usah memaksa juga. Di luar sana juga banyak ahli parenting yang memberikan berbagai solusi bagi ibu bekerja. Kalaupun enggak bertanya ke ahli parenting, bisa berdiskusi dengan keluarga, teman, atau siapa pun yang sekiranya bisa menjadi tempat untuk berdiskusi. Daripada mencari perbedaan melulu, malah pusing kan ya.
  3. Cirlcle pertemanan yang saling mendukung untuk menciptakan suasana lebih adem daripada ikut berdebat. Circle ini enggak harus terdiri dari orang-orang dengan pilihan yang sama.
  4. Teori vs realita. Banyak orangtua berharap punya anak yang berbakti, cerdas dan memiliki semua nilai ideal lainnya. Untuk mencapai harapan itu, orangtua memberikan berbagai upaya maksimal demi kebaikan anak. Namun sadar enggak sih, kalau kadang yang kita kasih hanya teori? Kita sebagai orangtua masih susah atau bahkan enggak bisa mempraktekkannya untuk diri sendiri. Padahal anak kan lebih mudah mencontoh perilaku sekitarnya, terutama perilaku orangtua.
  5. Bagaimana dengan orangtua yang sering melakukan Mom’s War? Yakin anaknya nggak bakal tahu? Anaknya mungkin enggak dikasih gadget, tapi dia akhirnya bisa tahu secara (tidak) sengaja saat sedang meminjam gadget temanya. Kalau begitu, apa yang akan dijelaskan kepada anak? Orangtua mengajarkan kepada anak untuk bisa berdiskusi dengan baik, tapi di sisi lain orangtua malah senang ikut Mom’s War.
  6. Buat teman-teman yang anaknya picky eater, coba dilihat lagi. Jangan-jangan penyebabnya adalah kita sendiri. Anak memang mencontoh orangtuanya yang picky eater.
  7. Menjadi teman bagi anak bukan berarti menurunkan wibawa kita sebagai orangtua. Bukan berarti pula saran seorang teman selalu benar. Namun sikap tidak mengguruinya memang cocok untuk remaja. Saat usia remaja kan ego lagi tinggi. Darah muda mereka juga kadang-kadang bergejolak. Kalau sering digurui, bisa-bisa malah diabaikan. Dibanding diberi tahu dengan cara menggurui, remaja lebih suka diajak berdiskusi dan didengarkan pendapatnnya. Di usia segitu ide dan topik yang ingin mereka bahas banyak banget. Belum lagi urusan pertemanan. Bahkan mungkin sudah mulai naksir dengan lawan jenis x))
  8. Mood swing. Fase remaja, cenderung mood swing. Dan tanpa disadari mempengaruhi kegiatan belajar dan juga kesehariannya.
  9. Enggak hanya menangis, kadang terlihat sedih saja sudah jadi semacam hal yang tabu buat laki-laki. Kalau seperti itu dipertahankan, khawatir nanti mereka enggak punya atau minim rasa empati. Bagaimana laki-laki bisa mengerti rasa sedih kalau dia sendiri dilarang untuk bersedih, apalagi sampai menangis? Sering kan kita mendengar atau mungkin merasakan sendiri kalau laki-laki itu mahluk yang paling enggak peka? Penyebabnya mungkin berbagai macam. Bisa jadi cara laki-laki dan perempuan mengungkapkan rasa sayang memang berbeda, makanya kelihatan enggak peka. Namun bisa saja perasaan pasangan, hingga melakukan kekerasan terhadap perempuan.
  10. Anak zaman sekarang tuh pada malas, abis terbiasa segalanya serba instan. Bisa jadi pendapat tersebut ada benarnya. Namun sangat disayangkan kalau sekadar nyinyir-nyinyir tanpa memberi saran, apalagi menggeneralisasikan seolah-olah semua anak muda seperti itu. Ya enggak heran kalau kemudian anak muda juga jadi malas ngomong sama yang lebih tua. Mereka memilih masa bodoh saja dengan semua anggapan tersebut.
  11. Jangan sekadar berani menyuarakan pendapat tanpa berusaha mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya dimulai dari hal kecil dulu ketika mulai peduli dengan lingkungan.
  12. Mendapatkan kritiki bisa menimbulkan rasa kurang nyaman, meskipun beberapa kritik memang bersifat membangun. Bagaimanapun kritik memang bersifat membangun. Bagaimanapun kritik tetap saja harus disampaikan dengan cara dan waktu yang tepat.
  13. Orangtua pasti merasa bersyukur melihat anak yang tekun dan berkemauan tinggi. Namun tetap jangan sampai kebablasan. Kita harus belajar mengukur kemampuan sendiri. Jangan sampai terlalu keras sama diri sendiri yang akhirnya malah merugikan.
  14. Attitude dan akademis adalah dua hal yang penting, tapi bukan sebuah perbandingan apple to apple. Punya anak yang akademisnya bagus, bukan berarti attitudenya jelek. Begitupun sebaliknya. Ada anak yang bagus di keduanya, tapi ada juga yang tidak. Ada yang salah satunya bagus, bagian lainnya kurang. Semua ada penyelesaiannya masing-masing. Kembali lagi ke tugas orangtua juga.
  15. Bonding dengan anak itu punya harga yang mahal. Bonding juga enggak bisa tercipta secara instan. Anak bisa merasa enggan dekat dengan orangtua kalau merasa selalu dimarahi. Bila bonding sudah longgar, untuk mempererat kembali butuh proses panjang yang mungkin saja enggak mudah. Ketika anak menutup diri dan orangtua selalu merasa anaknya baik-baik saja, itu bisa bahaya. Terkadang, sebetulnya orangtua enggak tahu apa yang anaknya lakukan di luar. Itu karena anaknya enggak mau cerita, dan akhirnya lebih memilih berbohong ketimbang jujur karena takut dimarahi.
  16. Kenapa sih remaja lebih suka curhat ke teman daripada orangtua? Lantaran biasanya teman tidak menghakimi, bisa memberi solusi yang asyik, dan tidak menggurui. Makanya, di usia ini anak mulai belajar untuk memilih-milih. Siapa sosok yang mau mereka dengar atau ikuti dan tidak. Bagus kalau mereka dikelilingi oleh lingkungan yang baik meskipun kurang merasa dekat dengan orangtua.
  17. Minat dan bakat adalah dua hal yang berbeda. Idealnya memang hasil minat dan bakat itu sama. Namun bila terjadi perbedaan, dua hal ini sebaiknya saling mendukung.
  18. Kalau udah passion, meskipun tidak menghasilkan (baca: mendapatkan uang), tetap saja bisa dijalani dengan nikmat. Ketika dulu masih kuliah, aku setuju dengan pernyataan ini. Tapi ketika sudah memasuki masa kerja kesepuluh, aku tidak bisa lagi menyetujui sepenuhnya pernyataan ini. Bekerja bukan lagi sekedar passion, tapi juga menuju ikigai.
  19. Biarkan anak menemukan jati dirinya sendiri. Ketika dalam proses pencarian anak berbenturan dengan aturan, banyak orangtua yang langsung memberikan label. Anak nakal, enggak nurut, bandel, aneh, dan lain sebagainya. Masih banyak orangtua yang belum peka. Banyak kejadian ketika anak bermasalah, orangtua bukannya berusaha memahami dan menyelesaikan terlebih dahulu, malah langsung menyerahkan semuanya ke psikolog. Berhati-hati melabeli anak. Orangtua harus bisa melihat anak dalam dimensi yang berwarna. Sudah berapa persenkah orangtua mampu melihat anak dalam dimensi yang berwarna? Semakin tinggi persentasenya, semakin tinggi pula kemampuan orangtua untuk menerima anak dalam kondisi apa pun. Segala tuntutan terhadap anak pun akan semakin berkurang. Semakin banyak tuntutan terhadap anak, maka kita semakin dianggap belum siap memiliki anak. Anak jadi seperti dicetak menjadi begini begitu. Segala label diberikan bila tidak sesuai dengan apa yang diinginkan orangtua. Orangtua tidak siap melihat anak dalam dimensi berwarna.
  20. Ada juga orangtua yang tidak pernah melabeli dan memarahi anak, tetapi tetap dianggap salah memberikan kasih sayang. Salah satunya adalah sikap selalu menyuapi. Anak harus diajarkan dan dilatih untuk menghadapi kehidupan. Dan yang namanya kehidupan tidak ada yang di masa depan? Namun, ada orangtua yang saking merasa sayangnya selalu memberikan kepastian kepada anak. Apa pun yang terjadi, anak selalu disuapi. Anak enggak pernah dilatih untuk siap menghadapi kehidupannya sendiri. Selalu menyuapi anak hanyalah satu dari banyak sekali cara salah dalam memberikan kasih sayang. Kenyataannya, ada banyak kesalahan yang dilakukan orangtua atas nama kasih sayang.

Keterangan Buku:

Judul                                                     : Imperfect Parenteen

Penulis                                                 : Myra Anastasia

Penyunting                                         : Audian Laili

Pemeriksa aksara                             : Rifai Asyhari

Penata isi & desain sampul          : M. Sadam Husaen

Penerbit                                              : Buku Mojok Grup

Terbit                                                    : April 2021

Tebal                                                     : 190 hlm.

ISBN                                                      : 978-623-94979-8-9

3 thoughts on “REVIEW Imperfect Parenteen”

  1. Benar juga mengenai menghadapi remaja tidak bisa sembarangan, tidak boleh dikendorin, tidak boleh dikerasin. Ini yang saya alami ketika menghadapi adik perempuan yang sekarang sudah jelang dewasa. Dia harus dipantau dengan ketat tetapi sambil memberikan kebebasan yang terukur. Misalnya, dia boleh main setelah kuliah, tetapi dia harus sudah dirumah ketika maghrib. Batasan-batasan ini yang bisa dipakai untuk meminimalkan perlawanan dia jika dipaksa untuk dikekang.

Leave a reply to adindilla Cancel reply