buku, resensi

REVIEW Mengatasi Masalah Besar Dalam Hidup

Masalah besar mengajarkan kita tentang betapa singkat dan berharganya hidup ini. (hlm. 4)

Mengapa kita begitu sering lupa untuk menikmati proses hidup yang terungkap? Mengapa kita begitu asyik bergegas melewati segalanya? Mengapa kita berada dalam ketergesa-gesaan hebat, tetapi lalu sedih ketika semua itu berlalu? Kita bergegas untuk bertumbuh dan melewati berbagai masalah, lalu berharap kalau saja kita dapat melewati semua itu sekali lagi. Apakah ada cara untuk memperlambat atau menikmati proses ini? Apakah mungkin bahwa jika kita melakukan ini, kita tidak akan memiliki penyesalan yang sama?

Tidak menguntungkan tetapi hampir tidak terelakkan bahwa kita akan bertemu, menjadi teman, terlibat dalam bisnis, dan bahkan mungkin menikahi seseorang yang hampir sama rusaknya. Rinciannya akan berbeda, tapi kerusakannya ada. Kerusakan itu mungkin disebabkan didikan, perilaku yang dipelajari, genetika atau apa pun. Siapa yang benar-benar tahu?

Kita bisa belajar memercayai bahwa hanya karena kita tidak bisa melihat alasan yang dapat diterima atau penjelasan untuk sesuatu pada saat ini, tidak berarti sesuatu itu tidak ada. Kita mulai mengetahui bahwa selain kekecewaan yang kita rasakan, atau bahkan rasa sakit, di dalam tiap pengalaman ada sebuah karunia, sesuatu yang harus dipelajari, atau bahkan sebuah kesempatan. Kita akan melewati apa pun yang sedang kita alami.

Tidak seperti api, mencoba memadamkan kesedihan adalah hal terburuk yang dapat kita lakukan. Tindakan ini membuat kesedihan dan dukacita menjadi lebih sulit ditangani. Dengan berpura-pura tidak bersedih ketika kesedihan itu dapat ditangani, maka kesedihan menjadi membusuk dan berkembang menjadi kendala yang lebih besar dan lebih menyakitkan. Jadi, bersedihlah sesuka hati kita.

Kebutuhan untuk bersedih tidak akan hilang jika kita menghindar atau beralih ke arah lain. Kita tidak bisa berpura-pura tidak merasa sedih hanya karena sudah saatnya untuk ‘meneruskan’ pekerjaan kita. Menguburkan sesuatu hanya akan menaruhnya semakin dalam di tanah. Mengubur rasa sakit hanya akan memperdalamnya dan mengatasinya akan menjadi semakin sulit. Melarikan diri dari rasa sakit akan menjadikan rasa sakit itu sebagai musuh. Hal itu mendorong kita memandang rasa sakit dengan kemarahan dan penolakan. Pada akhirnya, hal ini membuat kita semakin menjauhinya. Ini merupakan lingkaran setan.

Bersedih adalah proses alamiah yang meluas jauh melebihi topik dengan kematian. Kita hidup di dunia yang berubah terus-menerus, tempat di mana tidak ada satu hal pun yang tetap sama. Setiap pengalaman memiliki akhir, sama seperti setiap pikiran. Wajar jika kita mencoba bergantung dan bahkan melekat pada sesuatu, terutama hal-hal, pengalaman, dan orang-orang yang kita kasihi.

Beberapa dari kita dapat bergantung untuk waktu yang lama. Kita dapat ‘menjadi kuat’ dan mengesampingkan rasa sakit. Seseorang meninggal. Itu menyedihkan, tetapi kita dapat melewatinya. Kita kuat. Ada satu kehilangan, kemudian kehilangan lain dan kehilangan lagi. Kita berduka lalu entah bagaimana kita tetap melanjutkan kehidupan.

Tetapi, pada satu titik yang berbeda pada masing-masing dari kita, itu semua menjadi terlalu berlebihan. Ada semacam kematian dalam realitas kehidupan yang terjadi pada suatu titik dalam hidup kita.

Jika kita mengalami rasa sakit, carilah seseorang yang dapat menolong kita; seseorang yang dapat menemani kita sementara kita bersedih. Mungkin kita bisa mencari kelompok pendukung untuk orang-orang yang merasa rasa sakit yang serupa. Atau mungkin kita mempunyai seorang teman baik atau bahkan seorang konselor yang dapat menolong. Ketahuilah bahwa kita tidak sendiri dalam kesedihan kita dan bahwa buka hanya tidak apa-apa, tetapi juga layak, jika kita bersedih sesuka hati kita. Ini yang juga alami, biasanya kalau lagi ada masalah, bisa cerita ke teman dekat atau saudara yang bisa dipercaya. Lebih plong dibandingkan menulis status-status galau di sosmed yang kadang justru menambah masalah lainnya. Bercerita kepada orang lain mungkin tidak selalu bisa memberikan solusi, tapi bukan itu poinnya menurutku. Bercerita pada orang lain sebenarnya hanya untuk ingin didengarkan dan justru tidak ingin mendapat banyak solusi ataupun nasehat. Mungkin inilah salah satu faktor kenapa banyak murid yang akhirnya bisa menceritakan keadaan keluarganya dengan beragam problematika, padahal ama Guru BK belum tentu mereka seterbuka itu untuk berterus terang. Ya, mereka hanya mau didengarkan, bukan untuk dinasehati, apalagi dihakimi.

Tidak diragukan lagi imbalan untuk menjadi pendengar yang lebih baik itu sangat besar. Antara lain hubungan yang lebih baik dan lebih memuaskan, dan kehidupan kerja yang lebih efektif, menjadi orangtua yang lebih baik, dan konflik yang jauh lebih sedikit.

Pikiran kita mungkin mencakup penyesalan dari masa lalu, kesedihan karena hubungan yang gagal, kekecewaan karena kehilangan seseorang, atau berbagai hal lain. Namun, faktanya adalah semua, kenangan dan yang kita miliki tentang hal-hal ini tetap merupakan bagian dari hidup kita, entah semuanya ada dalam pikiran kita atau tidak diawasi di dasar pikiran. Pikiran itu tetap bersama kita, bersembunyi di tempat yang agak jauh, tapi cukup kuat untuk menimbulkan kerusakan, frustasi dan kekacauan dalam hidup. Sebelum pikiran itu dikenali, diakui dan ditangani dengan cara yang sehat dan jujur, mereka akan terus membuat kehadirannya diketahui dalam berbagai cara yang subversif.

Contohnya, segala ketakutan kita yang tidak diakui akan mengatur hidup kita dan menghalangi diri dari melakukan apa pun. Kita tidak akan melibatkan diri dalam beberapa kegiatan, mengambil risiko, atau menemui orang-orang baru. Kemarahan dan kebencian akan meracuni hubungan kita dan kemampuan kita untuk mengasihani serta mengampuni. Kita akan menjadi mudah marah tetapi tidak akan mengetahui sebabnya. Sedikit ketamakan atau sikap mementingkan diri sendiri akan mendorong kita untuk bertindan dengan cara yang tidak etis. Kita tidak akan pernah mengetahui mengapa orang-orang tidak sepenuhnya memercayai kita. Semua ini, dan lebih dari itu, karena kita tidak menginginkan, atau kita dapat menghadapi, kebenaran. Tidak satu pun dari hal ini yang menyiratkan bahwa kita adalah orang yang buruk, atau ada sesuatu yang salah pada diri kita. Itu hasilnya dari ketidakmauan kita untuk memperhatikan beberapa bagian dari diri kita, yaitu pikiran yang kita takutkan atau tidak dapat kita terima.

Sama seperti kita memancing ikan, komponen akhir dari proses ini adalah melepaskannya. Dan seperti memancing ikan, bagian ini sangat melegakan. Untuk ikan itu, peristiwa ini lebih dari kelegaan, tentu saja; itulah perbedaan antara hidup dan mati. Bagi kita, cara ini adalah perbedaan antara merasa marah atau damai; cemas atau aman. Cara ini adalah satu cara terbaik yang kita ketahui untuk mendatangkan kedamaian bagi kehidupan kita.

Pelepasan itu sendiri sangat sederhana. Setelah memperhatikan (atau menangkap) sebuah pikiran atau serangkaian pikiran yang negatif, marah, atau menegangkan, kita melepaskannya. Kita memberi perhatian yang lebih kecil pada pikiran-pikiran itu. Beberapa orang suka menegangkan, bereksperimen dengan gambaran mental, seperti dengan lembut memegang pikiran itu di telapak tangannya dan meniupnya ke langit. Cara apa pun yang paling mendatangkan hasil bagi kita boleh saja dijalankan. Itu hanyalah masalah membiasakan diri dengan gagasan melepaskan sebuah pikiran dan tidak mengizinkan pikiran itu berubah menjadi bola salju.

Salah satu kunci hidup yang memuaskan adalah mulai melihat kesulitan kita bukan sebagai serangkaian ‘kutukan’, melainkan sebuah kesempatan untuk bertumbuh dan melepaskan. Gagasan untuk memperlakukan orang lain seolah-olah mereka akan meninggal malam ini adalah cara praktis untuk melakukan transisi ini. penerapan strategi ini tidak berarti ketakutan terhadap kematian, melainkan keterbukaan terhadap kehidupan. Ini menyangkut kesedihan untuk menghadapi rasa frustasi kita, bukan sikap keras kepala, kebencian atau kekakuan, melainkan dengan keterbukaan dan kerendahan hati. Ada kebebasan yang menyertai keterbukaan ini. Bukannya terjerat dan terbebani kejengkelan dan rasa frustasi, kita bisa menjadi jauh lebih menerima sehingga lebih dipenuhi sukacita dan kedamaian. Ketika muncul situasi tertentu, kita tidak terlalu cenderung menghindar darinya, menyangkalnya, atau bertindak secara defensif.

Yang terakhir, memaafkan dunia karena ketidaksempurnaannya. Memaafkan alam semesta karena melakukan kesalahan dan tidak memprioritaskan kita. Memaafkan kekacauan dan segala hal yang tampaknya tidak masuk akal. Ketahuilah, walaupun terdapat bukti yang sebaliknya, Tuhan tahu apa yang dilakukan-Nya. Dengan cara tertentu, itu semua masuk akal. Ini benar, sekalipun kita tidak dapat melihatnya.

Tindakan memaafkan yang efektif dimulai dengan kesediaan kita untuk melihat bahwa semua ini demi kepentingan terbaik kita. Kita harus tahu bahwa kasih dan memaafkan adalah dasar utama dari kesehatan mental dan kebahagiaan kita. Ketika kita ingin memaafkan, mudah menggunakan kata-kata ‘saya memaafkan kamu’ atau ‘saya memaafkan diri sendiri’ karena kurang dari sempurna. Walaupun tampaknya sederhana, memaafkan akan memberi kelegaan besar.

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:

  1. Manusia adalah mahluk yang luar biasa kompleks. Kita semua telah mengalami rasa sakit dan kekecewaan serta dipenuhi hasrat untuk bersaing dan bermusuhan. (hlm. 17)
  2. Kita mulai mengetahui bahwa selain kekecewaan yang kita rasakan, atau bahkan rasa sakit, di dalam tiap pengalaman ada sebuah karunia, sesuatu yang harus dipelajari, atau bahkan sebuah kesempatan. (hlm. 83)
  3. Kita dapat memandang pikiran dan perasaan itu dengan tulus dan perspektif yang luas. Kita dapat belajar dari pikiran dan perasaan itu dan membuat pilihan dan keputusan yang sesuai. (hlm. 102)
  4. Kebenaran tetap ada, dan kebenaran memang demikian adanya. (hlm. 126)
  5. Hidup jarang berjalan sesuai dengan rencana kita. (hlm. 231)
  6. Agar bisa bersabar, pertama-tama kita harus meyakinkan diri sendiri bahwa kesabaran adalah ide yang bagus. (hlm. 231)

Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:

  1. Sesuatu dalam diri kita lebih suka untuk tetap tinggal di tempat yang kita kenal, sekalipun hal itu menyakitkan, daripada melangkah ke wilayah yang tidak diketahui. (hlm. 21)
  2. Kadang-kadang terlihat bahwa hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah merasa yakin bahwa kita tidak membuat situasi yang buruk menjadi lebih buruk lagi. (hlm. 223)
  3. Membuat komitmen dengan dirinya sendiri untuk tidak terbawa kesedihan, tetapi juga tidak mengubur perasaannya dan berpura-pura semuanya baik-baik saja. (hlm. 271)
  4. Ketika kita merasa tidak aman dengan apa yang kita tangani, kita bisa menjadi defensif dan agresif, atau akhirnya mengapai-gapai mencari jawabannya. (hlm. 341)
  5. Kenyataannya ada saat ketika orang-orang mengecewakan kita dan kita melakukan hal yang sama terhadap orang lain. (hlm. 355)
  6. Hidup adalah sebuah permainan yang dimainkan dari dalam ke luar. (hlm. 373)

Keterangan Buku:

Judul                                     : Mengatasi Masalah Besar Dalam Hidup

Penulis                                 : Dr. Richard Carlson

Penerjemah                       : Daniel Wirajaya

Perwajahan isi                   : Ryan

Perwajahan sampul        : Isran Febrianto

Penerbit                              : PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit                                    : Februari 2020 (Cetakan kedua)

Tebal                                     : 375 hlm.

ISBN                                      : 978-602-06-3882-9

2 thoughts on “REVIEW Mengatasi Masalah Besar Dalam Hidup”

Leave a comment