Uncategorized

(REVIEW) Semburat Senyum Sore

Saat baca novel ini dari lembaran ke lembaran berikutnya seperti DE JAVU. Radio, kampus, perpustakaan, bandung, film, dan orangtua tiri. Seperti mengulang kembali ke masa-masa kuliah. Ah, Gadis Peri tau banget buntelan buku apa yang pas buat saya! (>,^)

RADIO, semua penghuni kosan dan teman kuliah yang pernah singgah di kosan pasti udah hapal kalo kamar saya gak pernah mati dari suara radio mulai suara siaran anak-anak sekolah jam 5-an subuh sampai acara malam jam 3-an, sekalipun menyalakan komputer juga. Pasti lebih pilih denger lagu via radio, berasa ada nyawanya! Radio sudah seperti alarm buat bangun pagi, dan teman begadang hingga lulus kuliah saat merajut skripsi. Saking terobsesinya dengan radio, pernah memasukkan radio di daftar tema untuk objek skripsi. Dan semua juga tahu kalo selama kuliah di Jatinangor, saya gak pernah ke lain hati dengan hanya mendengarkan 99’ers Radio. Makanya sedih banget waktu udah lulus nggak bisa dengerin lagi, padahal dulu di Lampung sempet ada 99’ers Radio walaupun cuma setahun.. :’)

Eh, kok jadi curcolnya kebanyakan ya? 😀 Lalu apa hubungannya ama buku ini? Ada banget benang merahnya! Langit, sebagai penyiar radio ternama di Bandung, sedang melewati fase kehidupan seperti remaja seumurannya; mendapat kesempatan yang diidamkannya dan menemukan sesuatu bernama cinta. Dilema untuk segera menyelesaikan Tugas Akhir. Menghadapai masalah keluarga, menerima anggota keluarga baru itu tidak mudah, saya juga pernah merasakannya. Dan yang terpenting adalah, bertemu Nenek Romlah dan Waris yang membuka matanya untuk mensyukuri hidup yang hanya sebentar ini.

Kata kedua yang membuat saya de javu adalah KAMPUS.
Walaupun di novel ini disebutkan bahwa kampus tempat Langit kuliah adalah Unpag, tapi yang tervisualisasi dalam bayangan saya adalah kampus Unpad. Apalagi didukung fakta adanya Fakultas Ilmu Komunikasi di novel ini, gak semua kampus punya. Biasanya Jurusan Komunikasi di bawah payung Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik. Kemudian deskripsi perpustakaan FIKOM, dulu saya pernah magang buat digitalisasi koleksi setahun di situ :p
“Siang ini, gadis itu duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja besar di tengah perpustakaan FIKOM…..” (hal. 29)

Semburat Senyum Sore. Apa itu semburat?!? Saking penasarannya, saya sampe ubek-ubek KBBI loh, semburat artinya memancarkan cahaya; bersinar. Seperti biasa, novel-novel terbitan Atria selalu ciamik, nilai plus novel ini adalah adanya selipan ilustrasi di dalamnya.

Novel yang memiliki ketebalan 244 halaman ini terasa singkat. Ada beberapa masalah yang belum usai, seperti bagaimana nasib Tugas Akhirnya. Mungkin bisa dikupas lebih lanjut jika dibuat sekuelnya. Sekalipun kisah penutupnya bisa ditebak, saya langsung membacanya hingga tuntas. Dan SUKAAA!! (>,^)

Setuju banget ama endorsement-nya Baim Too Weak To Dance; “Gaya bahasanya ringan dan gampang dicerna, juga ada yang menarik di tiap alurnya jadi bikin penasaran pengin baca terus…”

Atria biasanya menerbitkan buku-buku terjemahan. Hanya bisa dihitung jari penerbit ini menelurkan tulisan dari penulis lokal. Hal ini menunjukkan bahwa Atria selektif menerima naskah, tentunya yang berkualitas seperti novel ini yang sebelumnya pernah ditebitkan lewat http://www.nulisbuku.com.

Penulisnya, Vinca Callista bisa dinikmati tulisannya di http://www.queencallista.tumblr.com. Fakta bahawa dia sebagai penyiar radio dan lulusan FIKOM UNPAD, saya (dan mungkin beberapa orang) yang membaca novel ini berpikir, apakah ini adopsi dari kehidupan nyata si penulisnya?!? 😉

Banyak kata bijak yang berserakan di novel ini:
1. Tuhan bukan mengabaikanharapan, tetapi menangguhkannya. Sampai tiba saat yang tepat untuk mengabulkan dan menjadikannya kejutan. (hal.2)
2. Penyesalan selalu datang di akhir dan menjadi awal dari perbaikan. (hal.40)
3. Kalo kita nggak bisa dapet apa yang kita suka, lebih baik kita suka apa yang udah kita dapet. (hal. 60)  wow, ini kata-katanya jleb banget!!
4. Jendela hati akan terbuka lebih lebar jika kita ingin mengenali rasa syukur lebih dalam. (hal. 62)
5. Pada awalnya, keikhlasan memang selalu bertentangan dengan kehilangan. (hal.74)
6. Mata kita sendirian tidak akan menjadikan hati dan otak berwawasan, tetap butuh mata orang lain. (hal. 94)
7. Keberadaan mutiara tidak akan diketahui tanpa membuka kerangnya. (hal. 156)
8. Belum bisa dipastikan sebelum dibuktikan. (201)
9. Hari ini adalah ‘kelak’ yang kemarin kita idam-idamkan. (hal. 231)

Keterangan Buku:
Judul : Semburat Senyum Sore
Penulis : Vinca Callista
Penyunting : Jia Effendie
Penyelaras : Fenty Nadia
Pewajah Isi : Aniza Pujiati
Ilustrasi : Rizki Nur Sidiq
Penerbit : Atria
Terbit : Mei 2011
Tebal : 244 hal.
ISBN : 978-979-024-484-9

13 thoughts on “(REVIEW) Semburat Senyum Sore”

    1. semburat itu masuk kata bahasa Indonesia loh. Kan udah kujelasin di atas kalo semburat ada di KBBI a.k.a Kamus Besar Bahasa Indonesia, hehehe… 😀

Leave a comment